Dikotomi pasar tradisional dan modern harus diakhiri
Wacana dan langkah yang menyuarakan kepentingan pasar-pedagang (ritel) tradisional terus disuarakan berbagai pihak. Bagaimanapun mereka berjasa dan berperan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat sejak lama.
Di tengah pasar yang identik 'becek dan kumuh' itu peran perantara bagi tersedianya kebutuhan masyarakat mempunyai sejarah panjang. Nenek dan ibu kita dahulu pun mempunyai jejak kakinya di tengah pasar basah ini. Upaya membela kepentingan pasar-pedagang tradisional terus disuarakan di tengah globalisasi ritel dengan masuknya pasar modern ke tengah masyarakat.
Suka atau tidak itulah jalan terpaksa pemerintah untuk membuka diri terhadap liberalisasi pasar sebagai tuntutan globalisasi. Repotnya pasar yang terinspirasi dari luar negeri seperti minimarket, supermarket, hipermarket di negeri asalnya juga menggilas pasar tradisional.
Jadi pasar modern merugikan pasar tradisional itu soal bawaan takdir dari sononya. Tumbal tak terelakkan dari perkembangan pasar ritel yang memodern.
Beberapa pihak menekankan bahwa kunci mengembalikan pasar tradisional ialah mengkritisi Perpres 112/2007 yang disfungsi. Ideal di pasal-pasal, berbeda dengan realita di lapangan.
Jauh sebelum itu gesekan pasar tradisional dan pasar modern muncul berseri. Intinya pasar tradisional dan pedagangnya merosot drastis dalam penjualan dan perkembangannya karena disaingi oleh pasar modern beserta pedagangnya yang bermodal besar, berteknologi modern dan berbendera perusahaan mancanegara.
Angka-angka penurunan dan kemerosotan yang menunjukkan hal itu tak bisa dipungkiri. Jalan globalisasi pasar atau liberalisasi ritel yang dijalankan pemerintah memang membawa konsekuensi baru yakni persaingan antara yang modern dan tradisional.
Kekalahan pasar tradisional selama ini karena tidak siap bersaing dengan modernisasi pasar ritel. Pasar tradisional bertahan untuk mempertahankan konsumennya dengan keberadaan yang apa adanya, sedangkan pasar modern berupaya keras menarik konsumen untuk berbelanja di situ dengan promosi yang berorientasi pada nilai tambah dan keuntungan konsumen.
Upaya memanjakan konsumen pasar modern harus dibalas dengan upaya memanjakan konsumen pasar tradisional, ini jika pasar tradisional tak mau kehilangan konsumennya. Menekan regulasi ritel atau pemerintah untuk melindungi pasar tradisional sering tak bergigi. Mengapa?
Oleh karena hal itu sama saja meminta pemerintah berlaku surut terhadap globalisasi pasar dan liberalisasi pasar ritel khususnya. Tidak ada cara lain, pasar tradisional harus memanjakan konsumennya agar tidak lari ke pasar modern atau pasar tradisional berubah secepatnya menjadi pasar modern agar juga mendapat lirikan konsumen.
Hal ini karena efisiensi pasar tradisional dan daya saingnya dengan pasar modern terus melemah. Memang bisa saja melawan takdir, tolak globalisasi pasar dan liberalisasi ritel tetapi membawa konsekuensi penolakan yang lain oleh negara-negara proglobalisasi dan liberalisasi. Ekonomi ritel kita memang sudah terperangkap.
Jalan satu-satunya ialah bagaimana pasar tradisional menarik konsumennya atau sekalian saja pasar tradisional berubah menjadi pasar modern.
Terlepas pasar tradisional mempunyai peran dan jasa yang sangat besar pada masa lalu, ia tidak akan bisa mempertahankan konsumennya yang lari ke pasar modern selama ia kalah bersaing dalam segala-galanya.
Upaya mengembalikan pasar tradisional harus pertama-tama dan yang terpenting ialah mengembalikan konsumen tradisionalnya juga. Persoalannya konsumen mau atau tidak?
Sayang bahwa uang konsumen selalu mencari nilai tukar yang sepadan, pasar yang nyaman, bersih, diskon, lengkap, bisa dengan kartu kredit atau debit dan ada unsur rekreasi, dibandingkan dengan uang dibelanjakan di pasar yang kumuh.
Upaya memenangkan pasar harus berorientasi pada kepentingan konsumen, karena merekalah yang berkuasa atas uang, 'duit-duit gue' mau dikemanakan terserah mereka.
Selama pasar tradisional berorientasi pada kepentingannya sendiri untuk survive dengan menekan pemerintah untuk membuat regulasi yang menguntungkan mereka, perbaikan pasar tradisional akan sulit tercapai karena pemerintah juga terikat oleh regulasi global untuk globalisasi ekonomi dan liberalisasi ritel. Proteksi pasar tradisional akan dibalas proteksi yang berbeda oleh negeri lain.
Dikotomi
Bagi konsumen tidak peduli apakah ia konsumen tradisional atau modern. Hukum ketertarikan konsumen ialah nilai tambah apa jika ia berbelanja di sebuah pasar. Di tengah krisis seperti ini mungkin saja konsumen berubah menjadi tradisional dan berbelanja di pasar tradisional seperti temuan The Nielsen Indonesia, bahwa akibat krisis konsumen kembali ke pasar tradisional. Namun, itu tidak berarti bahwa konsumen fanatik pada satu pasar, bisa saja ia tiba-tiba beralih pada pasar modern jika mendadak ekonomi pulih.
Mestinya pelaku pasar tradisional dan pasar modern mengakhiri dikotomi dan jangan terkecoh lagi oleh pengkutuban tradisional versus modern yang kabur dan tumpang tindih. Baik yang tradisional maupun modern tidak statis dalam sebuah blok yang kaku, tetapi bergerak dinamis.
Tradisional dan modern adalah satu garis panjang histori pasar yang sebaiknya tak dipertentangkan, meski mereka dua kutub yang berbeda tapi ada dalam satu rentangan. Yang tradisional harus menjadi modern dan yang modern kelak juga akan ketinggalan zaman lagi oleh perkembangan berikutnya. Apa definisi tradisional dan modern juga selalu berubah.
Pasar tradisional yang dimodernkan seperti di Bumi Serpong Damai di Tangerang apakah masuk pasar modern atau tradisional?
Begitu juga Fresh Market di Kota Wisata Cibubur apakah masuk kategori tradisional karena berupa los-los penjual atau modern karena diciptakan oleh perumahan mewah.
Buat konsumen kedua 'pasar banci' itu, setengah modern-setengah tradisional, berbelanja sekadar gaya hidup model los seperti pasar zaman dulu tapi juga modern.
Tuntutan pasar tradisional kepada pemerintah mestinya agar pemerintah membuat regulasi yang mendukung dan membantu pasar tradisional berubah menjadi pasar modern dan bukan mempertahankan apalagi mengembalikannya.
Regulasi pemerintah yang mendorong pasar tradisional agar tidak ketinggalan zaman dan tidak ditinggal lari konsumennya dengan membantu pasar tradisional menjadi modern, supermodern, setengah modern atau entah apa pun namanya pokoknya menjadi lebih berorientasi pada kepentingan konsumen dengan satu tolok ukur konsumen mau belanja di situ.
Bukan seperti yang sudah-sudah upaya melindungi pasar tradisional berorientasi pada kepentingan pasar dan pedagang tradisional saja tanpa meningkatkan nilai tambah apa bagi konsumen jika berbelanja di situ.
Bukankah problemnya konsumen yang lari, ya harus ditarik kembali dengan nilai tambah pasar tradisional yang lebih dari pasar modern. Modern atau tradisional dilihat sebagai kesinambungan pasar yang tak terelakkan.
Pasar tradisional boleh dilestarikan karena unik dan sebagai wisata belanja ala masa lalu. Namun, jumlahnya tak banyak. Mayoritas pasar tradisional memang harus dimodernkan. Persaingan lebih fair karena sama-sama modern dan tinggal bagaimana berkompetisi dalam menggaet konsumen.
Di tengah pasar yang identik 'becek dan kumuh' itu peran perantara bagi tersedianya kebutuhan masyarakat mempunyai sejarah panjang. Nenek dan ibu kita dahulu pun mempunyai jejak kakinya di tengah pasar basah ini. Upaya membela kepentingan pasar-pedagang tradisional terus disuarakan di tengah globalisasi ritel dengan masuknya pasar modern ke tengah masyarakat.
Suka atau tidak itulah jalan terpaksa pemerintah untuk membuka diri terhadap liberalisasi pasar sebagai tuntutan globalisasi. Repotnya pasar yang terinspirasi dari luar negeri seperti minimarket, supermarket, hipermarket di negeri asalnya juga menggilas pasar tradisional.
Jadi pasar modern merugikan pasar tradisional itu soal bawaan takdir dari sononya. Tumbal tak terelakkan dari perkembangan pasar ritel yang memodern.
Beberapa pihak menekankan bahwa kunci mengembalikan pasar tradisional ialah mengkritisi Perpres 112/2007 yang disfungsi. Ideal di pasal-pasal, berbeda dengan realita di lapangan.
Jauh sebelum itu gesekan pasar tradisional dan pasar modern muncul berseri. Intinya pasar tradisional dan pedagangnya merosot drastis dalam penjualan dan perkembangannya karena disaingi oleh pasar modern beserta pedagangnya yang bermodal besar, berteknologi modern dan berbendera perusahaan mancanegara.
Angka-angka penurunan dan kemerosotan yang menunjukkan hal itu tak bisa dipungkiri. Jalan globalisasi pasar atau liberalisasi ritel yang dijalankan pemerintah memang membawa konsekuensi baru yakni persaingan antara yang modern dan tradisional.
Kekalahan pasar tradisional selama ini karena tidak siap bersaing dengan modernisasi pasar ritel. Pasar tradisional bertahan untuk mempertahankan konsumennya dengan keberadaan yang apa adanya, sedangkan pasar modern berupaya keras menarik konsumen untuk berbelanja di situ dengan promosi yang berorientasi pada nilai tambah dan keuntungan konsumen.
Upaya memanjakan konsumen pasar modern harus dibalas dengan upaya memanjakan konsumen pasar tradisional, ini jika pasar tradisional tak mau kehilangan konsumennya. Menekan regulasi ritel atau pemerintah untuk melindungi pasar tradisional sering tak bergigi. Mengapa?
Oleh karena hal itu sama saja meminta pemerintah berlaku surut terhadap globalisasi pasar dan liberalisasi pasar ritel khususnya. Tidak ada cara lain, pasar tradisional harus memanjakan konsumennya agar tidak lari ke pasar modern atau pasar tradisional berubah secepatnya menjadi pasar modern agar juga mendapat lirikan konsumen.
Hal ini karena efisiensi pasar tradisional dan daya saingnya dengan pasar modern terus melemah. Memang bisa saja melawan takdir, tolak globalisasi pasar dan liberalisasi ritel tetapi membawa konsekuensi penolakan yang lain oleh negara-negara proglobalisasi dan liberalisasi. Ekonomi ritel kita memang sudah terperangkap.
Jalan satu-satunya ialah bagaimana pasar tradisional menarik konsumennya atau sekalian saja pasar tradisional berubah menjadi pasar modern.
Terlepas pasar tradisional mempunyai peran dan jasa yang sangat besar pada masa lalu, ia tidak akan bisa mempertahankan konsumennya yang lari ke pasar modern selama ia kalah bersaing dalam segala-galanya.
Upaya mengembalikan pasar tradisional harus pertama-tama dan yang terpenting ialah mengembalikan konsumen tradisionalnya juga. Persoalannya konsumen mau atau tidak?
Sayang bahwa uang konsumen selalu mencari nilai tukar yang sepadan, pasar yang nyaman, bersih, diskon, lengkap, bisa dengan kartu kredit atau debit dan ada unsur rekreasi, dibandingkan dengan uang dibelanjakan di pasar yang kumuh.
Upaya memenangkan pasar harus berorientasi pada kepentingan konsumen, karena merekalah yang berkuasa atas uang, 'duit-duit gue' mau dikemanakan terserah mereka.
Selama pasar tradisional berorientasi pada kepentingannya sendiri untuk survive dengan menekan pemerintah untuk membuat regulasi yang menguntungkan mereka, perbaikan pasar tradisional akan sulit tercapai karena pemerintah juga terikat oleh regulasi global untuk globalisasi ekonomi dan liberalisasi ritel. Proteksi pasar tradisional akan dibalas proteksi yang berbeda oleh negeri lain.
Dikotomi
Bagi konsumen tidak peduli apakah ia konsumen tradisional atau modern. Hukum ketertarikan konsumen ialah nilai tambah apa jika ia berbelanja di sebuah pasar. Di tengah krisis seperti ini mungkin saja konsumen berubah menjadi tradisional dan berbelanja di pasar tradisional seperti temuan The Nielsen Indonesia, bahwa akibat krisis konsumen kembali ke pasar tradisional. Namun, itu tidak berarti bahwa konsumen fanatik pada satu pasar, bisa saja ia tiba-tiba beralih pada pasar modern jika mendadak ekonomi pulih.
Mestinya pelaku pasar tradisional dan pasar modern mengakhiri dikotomi dan jangan terkecoh lagi oleh pengkutuban tradisional versus modern yang kabur dan tumpang tindih. Baik yang tradisional maupun modern tidak statis dalam sebuah blok yang kaku, tetapi bergerak dinamis.
Tradisional dan modern adalah satu garis panjang histori pasar yang sebaiknya tak dipertentangkan, meski mereka dua kutub yang berbeda tapi ada dalam satu rentangan. Yang tradisional harus menjadi modern dan yang modern kelak juga akan ketinggalan zaman lagi oleh perkembangan berikutnya. Apa definisi tradisional dan modern juga selalu berubah.
Pasar tradisional yang dimodernkan seperti di Bumi Serpong Damai di Tangerang apakah masuk pasar modern atau tradisional?
Begitu juga Fresh Market di Kota Wisata Cibubur apakah masuk kategori tradisional karena berupa los-los penjual atau modern karena diciptakan oleh perumahan mewah.
Buat konsumen kedua 'pasar banci' itu, setengah modern-setengah tradisional, berbelanja sekadar gaya hidup model los seperti pasar zaman dulu tapi juga modern.
Tuntutan pasar tradisional kepada pemerintah mestinya agar pemerintah membuat regulasi yang mendukung dan membantu pasar tradisional berubah menjadi pasar modern dan bukan mempertahankan apalagi mengembalikannya.
Regulasi pemerintah yang mendorong pasar tradisional agar tidak ketinggalan zaman dan tidak ditinggal lari konsumennya dengan membantu pasar tradisional menjadi modern, supermodern, setengah modern atau entah apa pun namanya pokoknya menjadi lebih berorientasi pada kepentingan konsumen dengan satu tolok ukur konsumen mau belanja di situ.
Bukan seperti yang sudah-sudah upaya melindungi pasar tradisional berorientasi pada kepentingan pasar dan pedagang tradisional saja tanpa meningkatkan nilai tambah apa bagi konsumen jika berbelanja di situ.
Bukankah problemnya konsumen yang lari, ya harus ditarik kembali dengan nilai tambah pasar tradisional yang lebih dari pasar modern. Modern atau tradisional dilihat sebagai kesinambungan pasar yang tak terelakkan.
Pasar tradisional boleh dilestarikan karena unik dan sebagai wisata belanja ala masa lalu. Namun, jumlahnya tak banyak. Mayoritas pasar tradisional memang harus dimodernkan. Persaingan lebih fair karena sama-sama modern dan tinggal bagaimana berkompetisi dalam menggaet konsumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar