Mengenai Saya

Foto saya
Jakarta, Indonesia
Pemerhati dan pelaku pembangunan ulang Pasar tradisional. Ya, itulah saya, yang 5 tahun terakhir konsen untuk mendedikasikan aktivitas bisnis dan Grup usaha dalam rangka melayani pedagang tradisional untuk mendapatkan haknya kembali menikmati Pasar Tradisional yang bersih, nyaman dan aman, layaknya Pasar Modern lainnya. Mereka bisa, seharusnya PASAR TRADISIONAL juga BISA!!!!!!! ITQONI GROUP sudah membuktikannya DUA KALI!!!!

Selasa, 31 Maret 2009

Artikel Ekonomi: Pasar Tradisional Versus Pasar Modern

Berbeda dengan pasar modern, pasar tradisional sejatinya memiliki keunggulan bersaing alamiah yang tidak dimiliki secara langsung oleh pasar modern. Lokasi yang strategis, area penjualan yang luas, keragaman barang yang lengkap, harga yang rendah, sistem tawar menawar yang menunjukkan keakraban antara penjual dan pembeli merupakan keunggulan yang dimiliki oleh pasar tradisional.

Namun, selain menyandang keunggulan alamiah, pasar tradisional memiliki berbagai kelemahan yang telah menjadi karakter dasar yang sangat sulit diubah. Faktor desain dan tampilan pasar, atmosfir, tata ruang, tata letak, keragaman dan kualitas barang, promosi penjualan, jam operasional pasar yang terbatas, serta optimalisasi pemanfaatan ruang jual merupakan kelemahan terbesar pasar tradisional dalam menghadapi persaingan dengan pasar modern.

Ketika konsumen menuntut ’nilai lebih’ atas setiap uang yang dibelanjakannya, maka kondisi pasar pasar tradisional yang kumuh, kotor, bau, dengan atmosfir seadanya dalam jam operasional yang relatif terbatas tidak mampu mengakomodasi hal ini. Kondisi ini menjadi salah satu alasan konsumen untuk beralih dari pasar tradisional ke pasar modern. Artinya, dengan nilai uang yang relatif sama, pasar modern memberikan kenyamanan, keamanan, dan keleluasaan berbelanja yang tidak dapat diberikan pasar tradisional.

Kondisi ini diperburuk dengan citra pasar tradisional yang dihancurkan oleh segelintir oknum pelaku dan pedagang di pasar. Maraknya informasi produk barang yang menggunakan zat kimia berbahaya serta relatif mudah diperoleh di pasar tradisional, praktek penjualan daging oplosan, serta kecurangan-kecurangan lain dalam aktifitas penjualan dan perdagangan telah meruntuhkan kepercayaan konsumen terhadap pasar tradisional.

Belum lagi kenyataan, Indonesia adalah negara dengan mayoritas konsumen berasal dari kalangan menengah ke bawah. Kondisi ini menjadikan konsumen Indonesia tergolong ke dalam konsumen yang sangat sensitif terhadap harga. Ketika faktor harga rendah yang sebelumnya menjadi keunggulan pasar tradisional mampu diruntuhkan oleh pasar modern, secara relatif tidak ada alasan konsumen dari kalangan menengah ke bawah untuk tidak turut berbelanja ke pasar modern dan meninggalkan pasar tradisional.

Ancaman Pasar Modern Terhadap Pasar Tradisional

Eksistensi pasar modern di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Menurut data yang diperoleh dari Euromonitor (2004) hypermarket meru-pakan peritel dengan tingkat pertumbuhan paling tinggi (25%), koperasi (14.2%), minimarket / convenience stores (12.5%), independent grocers (8.5%), dan su-permarket (3.5%).

Selain mengalami pertumbuhan dari sisi jumlah dan angka penjualan, peritel modern mengalami pertumbuhan pangsa pasar sebesar 2.4% pertahun terhadap pasar tradisional. Berdasarkan survey AC Nielsen (2006) menunjukkan bahwa pangsa pasar dari pasar modern meningkat sebesar 11.8% selama lima tahun terakhir. tiga tahun terakhir. Jika pangsa pasar dari pasar modern pada tahun 2001 adalah 24.8% maka pangsa pasar tersebut menjadi 32.4% tahun 2005. Hal ini berarti bahwa dalam periode 2001 – 2006, sebanyak 11.8% konsumen ritel Indonesia telah meninggalkan pasar tradisional dan beralih ke pasar modern.

Keberadaan pasar modern di Indonesia akan berkembang dari tahun ke tahun. Perkembangan yang pesat ini bisa jadi akan terus menekan keberadaan pasar tradisional pada titik terendah dalam 20 tahun mendatang. Pasar modern yang notabene dimiliki oleh peritel asing dan konglomerat lokal akan menggantikan peran pasar tradisional yang mayoritas dimiliki oleh masyarakat kecil dan sebelumnya menguasai bisnis ritel di Indonesia.

Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu adanya langkah nyata dari pedagang pasar agar dapat mempertahankan pelanggan dan keberadaan usahanya. Para pedagang di pasar tradisional harus mengembangkan strategi dan membangun rencana yang mampu memenuhi kebutuhan dan tuntutan konsumen sebagaimana yang dilakukan pasar modern. Jika tidak, maka mayoritas pasar tradisional di Indonesia beserta penghuninya hanya akan menjadi sejarah yang tersimpan dalam album kenangan industri ritel di Indonesia dalam waktu yang relatif singkat. (*)Pertarungan sengit antara pedagang tradisional dengan peritel raksasa merupakan fenomena umum era globalisasi. Jika Pemerintah tak hati-hati, dengan membina keduanya supaya sinergis, Perpres Pasar Modern justru akan membuat semua pedagang tradisional mati secara sistematis.
Hanya tinggal menunggu waktu pasar tradisional akan mati oleh pasar modernSetelah tertunda 2,5 tahun, Peraturan Presiden (Perpres) No 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, serta Toko Modern (biasa disebut Perpres Pasar Modern), akhirnya ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 Desember 2007 lalu.

Enam pokok masalah diatur dalam Perpres yaitu definisi, zonasi, kemitraan, perizinan, syarat perdagangan (trading term), kelembagaan pengawas, dan sanksi. Soal zonasi atau tata letak pasar tradisional dan pasar modern (hypermart), menurut Perpres, disusun oleh Pemerintah Daerah (Pemda). Ini membuat pemerintah pusat terkesan ingin “cuci tangan”, mengingat tata letak justru merupakan persoalan krusial sebab tak pernah konsisten dipatuhi, yang lalu membenturkan keduanya. Pendirian Carrefour di kawasan CBD Ciledug, Kota Tangerang, Banten, misalnya. Awalnya Carrefour Ciledug ditolak keras oleh semua pedagang tradisional di sekelilingnya, tetapi pada akhirnya bisa beroperasi dengan mulus persis menjelang Natal 2007.

Pengalihan kewenangan mengeluarkan Izin Usaha Pasar Modern (IUPM) ke Pemda, memungkinkan pasar tradisional selalu dikorbankan dengan berbagai alasan. Indikasinya, sebagian besar pasar modern tidak memiliki IUPM dari pemerintah pusat. “Untuk masalah zonasi, Pemda diberi waktu tiga tahun untuk menyusun rencana umum tata ruang wilayah (RUTRW) yang mengacu kepada Undang-Undang Tata Ruang,” kata Ardiansyah Parman, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Depdag.

Akan Mati Semua
Penandatanganan Perpres berlangsung setelah PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk melepas bisnis ritelnya, dengan menjual seluruh kepemilikan sahamnya di PT Alfa Retailindo Tbk pada 5 Oktober 2006, dan di PT Sumber Alfaria Trijaya 15 Desember 2006. Ribuan outlet Alfamart dan Alfamidi tersebar di kawasan pemukiman warga, belum termasuk Alfa Rabat sekelas supermarket sebanyak 29 buah.

Setelah itu muncul kabar raksasa ritel asal Perancis PT Carrefour Indonesia sepakat untuk membeli 75 persen saham Alfa Ratailindo, dengan menyasar supermarketnya. Nota kesepahaman pembelian saham ditandatangani di Singapura 17 Desember 2007, dilanjutkan negosiasi pembelian saham pada 6 Januari 2008, menjadikan Carrefour berpotensi memonopoli usaha ritel sebab tampil sebagai market leader dan price leader.

Apabila pembelian saham Alfa benar-benar terjadi, maka, langkah perubahan Alfa Rabat menjadi Carrefour akan sama persis mengikuti jejak perubahan Hero menjadi Giant, atau supermarket Matahari menjadi Hypermart.

Masih terlalu dini, memang, untuk menilai ada keterkaitan antara berbagai aksi korporasi perusahaan terbuka di atas dengan keluarnya Perpres Pasar Modern. Tetapi bersamaan dengan Perpres pasar Modern dikeluarkan pula Perpres No 111 tentang Perubahan Atas Perpres No 77 Tahun 2007 mengenai daftar bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal, atau tentang Daftar Negatif Investasi (DNI), yang memberikan penegasan perihal penanaman modal asing di sektor ritel. Sebagai misal, definisi supermarket, minimarket, dan departemen store skala kecil dicantumkan dalam kelompok usaha ritel dengan syarat 100 persen modal dalam negeri. Investor asing ditentukan hanya boleh masuk dalam bisnis supermarket ukuran besar dengan luasan lantai penjualan lebih dari 1.200 meter persegi (m2), dan departemen store besar yang berukuran lebih dari 2.00 m2.

Dari sisi pemerintah, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu berharap Perpres dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan pasar tradisional, sekaligus menciptakan iklim usaha yang lebih baik untuk bisnis ritel. “Perpres ini intinya mengatur masalah zonasi, bagaimana perlindungan pasar tradisional dan ekspansi. Juga, bagaimana supaya pengaturan lokasi pasar tradisional dan ritel modern akan bisa lebih bagus,” kata Mari.
Ketika memberikan penjelasan kepada wartawan di Kantor Pusat Bulog di Jakarta Jumat (28/12), Mari mengatakan, dengan pemberlakuan Perpres persoalan rebutan pelanggan antara ritel tradisional dan modern bisa diminimalisasi.

Mari percaya, perlindungan pasar tradisional bisa dilakukan karena aturan pembangunan pasar harus mengacu pada tata ruang dan wilayah yang sudah dimiliki Pemda. Termasuk pengucuran kredit usaha rakyat kepada pedagang tradisional. “Dengan keluarnya Perpres ini maka akan memperlancar program pemberdayaan untuk pedagang seperti pengucuran kredit mikro dan sebagainya,” kata Mari. Ia mengingatkan, perbaikan kinerja ritel tradisional perlu ditingkatkan. Salah satunya dengan memperbaiki bangunan pasar tradisional, serta pemberdayaan pedagang kecil dan peritel tradisional melalui berbagai program.

Pemberlakuan aturan baku pendirian pasar tradisional dan pasar modern akan membuat persaingan keduanya semakin sengit di masa-masa mendatang. Data Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) menyebutkan, hypermarket telah menyebabkan gulung tikarnya pasar tradisional dan kios pedagang kecil-menengah. Data yang dikumpulkan APPSI pada tahun 2005, saat hypermarket belum begitu menggejala seperti sekarang, memaparkan, di Jakarta terdapat delapan pasar tradisional dan 400 kios yang tutup setiap tahun karena kalah bersaing dengan hypermarket.

Putri Kuswisnu Wardani, Juru Bicara 9 Aliansi Multi Industri mengatakan, para pedagang di pasar tradisional tidak akan pernah mungkin bisa bersaing dengan peritel besar pemilik hipermarket atau supermarket. Pasar tradisional juga tidak bisa melakukan minus margin untuk menarik konsumen, karena tidak ingin menekan pemasok dan produsen.

“Jadi sudah dapat dipastikan pasar tradisional akan mati semua dan tinggal tunggu waktu saja. Arahnya sudah kelihatan. Yang bisa menolong pasar tradisional dan industri nasional (yang barang-barangnya dijual di hipermarket) dari kehancuran adalah niat dan keberpihakan dari pemerintah,” ucap Putri. HT

Senin, 16 Maret 2009

Omzet Pasar Tradisional Tergerus Hipermart

Pemprov DKI Jakarta dinilai tidak tegas dalam menerapkan zonasi pembangunan hipermarket. Banyak di antara pendirian pasar modern itu melanggar aturan. Akibatnya, omzet pasar tradisional tergerus antara 35 persen hingga 40 persen setiap tahunnya, lantaran menjual produk yang sama.

"Hipermarket jangan merusak pasar tradisional. Sekarang ini banyak yang melanggar. Seharusnya, setiap pelanggaran bisa ditindak tegas," ujar Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta, M Taufik disela acara diskusi parpol DKI menyoal perpasaran di Gedung Joeang, Senin (16/3).

Data dari Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Seluruh Indonesia (APPSI), hingga saat ini sebanyak 51 pasar tradisional berdekatan dengan pasar modern. Namun, yang berdekatan dengan hipermarket ada sebanyak 45 unit.

Dia mencontohkan, seperti Pasar Mede dan Pasar Pondok Pinang, Pondok Indah berdekatan dengan dan Carrefour Giant Lebak Bulus. Di Cempaka Mas, Carrefour berdekatan dengan Pasar Cempaka Putih, Pasar Gembrong dan Pasar Sumur Batu. Rata-rata radius kedekatan kurang dari 2,5 km.

Padahal, dalam Perda no 2 tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta mengamanatkan dalam pembangunan hipermarket, jarak radius minimal 2,5 km dari pasar tradisional.

Sehingga, menurut Taufik, jika Pemprov DKI tidak bertindak tegas setiap pelanggaran, usai Pemilu mendatang, pihaknya akan menyisir satu per satu pasar modern yang ditengarai melanggar itu.

Jika terbukti melanggar, tidak ada alasan untuk takut mencabut izinnya. Sebab, berkembangnya pasar modern selama ini setelah ditopang pasar tradisional. Sementara pasar tradisional sendiri kian hari kian merosot.

"Seharusnya pasar modern bisa menopang balik pasar tradisional. Bukan justru mematikannya," ungkapnya.

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua DPD I Golkar DKI, Ashraf Ali , mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk menindak tegas setiap pelanggaran yang terjadi. Namun, jika pasar modern tidak melanggar harus ikut dilindungi. Justru, keberadaan mereka juga termasuk penopang perekonomian DKI.

Menurut Koordinator Jakarta Network Societym Umar Syarif, kondisi pasar tradisional saat ini banyak yang memprihatinkan. Sebanyak 111 pasar telah rusak. Baik sedang maupun berat. Hanya 27 pasar yang kondisinya baik. Selain mengalami kerusakan, omsetnya juga terus menurun akibat maraknya pasar modern yang berdiri menyalahi aturan zonasi.

Anehnya, kata dia, meskipun mendapat sokongan dari pemerintah, seluruh hasil dari transaksi pasar modern itu ditabung di luar negeri dan bukan di dalam negeri. “Seperti Cerefour yang menabung di Singapura. Seharusnya, persoalan seperti itu bisa diatasi pemerintah.,” kata Umar. - c89/ahi

Minggu, 15 Maret 2009

Pemerintah Daerah Dan Pasar Tradisional

Jakarta - Di hampir setiap sudut Kota Jakarta kini sudah berdiri mal, plaza, atau pusat belanja (trade center). Orang menyebut dengan istilah hypermarket. 

Seperti juga pembangunan jalan kehadiran pusat-pusat belanja kelas mewah seperti itu pun juga senantiasa bersifat insentif. 
Dalam arti kehadiran mal dan hypermarket akan mendorong meningkatnya aktivitas ekonomi publik. 

Pada satu bagian ada kelompok yang secara aktif memanfaatkan fasilitas mal untuk kegiatan ekonomi. Sementara pada bagian lain juga mendorong 
supply and demand menguatnya gejala konsumerisme masyarakat. Ada proses tawar menawar di dalamnya sehingga hukum mencapai keseimbangannya. 

Dari sisi kepentingan ekonomi kian menjamurnya mal dan hypermarket mendorong terciptanya peluang bekerja bagi banyak orang. Mulai dari jasa tenaga satuan pengamanan, penjaga toko, pengantar barang, cleaning service, hingga jasa transportasi. Ini berarti sejumlah penganggur bisa terentaskan dari keterpurukan nasibnya. Dengan kata lain kehadiran mal dan hypermarket memberi sejumlah manfaat. 

Persoalannya kegiatan ekonomi selalu saja memiliki dampak positif dan negatif. Dalam konteks inilah kehadiran mal-mal di Jakarta sering kali mengundang reaksi negatif dari sejumlah kalangan. Beberapa hal yang kerap kali terungkap dalam nada protes masyarakat adalah kekhawatiran akan tergusurnya kegiatan ekonomi rakyat yang bergerak di pasar-pasar tradisional maupun ritel berskala kecil. 

Yang dianggap sebagai ancaman bukan hanya pedagang grosir, supermarket, atau pun hypermarket. Melainkan juga minimarket yang dikelola oleh pengusaha besar. Konglomerasi ritel yang bermunculan di kawasan permukiman di Jakarta dinilai telah menghancurkan warung-warung atau toko-toko tradisional yang menjadi tumpuan hidup pedagang kecil. Banyak pedagang kecil mengeluh usaha mereka tutup atau omzet turun secara signifikan setelah muncul minimarket yang dimiliki pemodal besar. 

Berita detik.com (Sabtu, 14/03/2009) berjudul "Pasar Tradisional Kian Susah Saingi Pasar Moderen" menguatkan hal tersebut. Menurut berita tersebut pasar-pasar tradisional mulai ditinggalkan para pembelinya yang mulai bergeser ke pasar modern karena harga di pasar modern yang lebih murah dibanding harga di pasar tradisional.

Larinya konsumen dari pasar tradisional ke pasar modern sebenarnya telah terjadi sejak lama. Pada bulan Mei 2004 misalnya. Beberapa media massa di Ibu Kota menulis "Tujuh Pasar Tradisional Ditutup". Alasan penutupan ini menurut pengelola PD Pasar Jaya adalah untuk efisiensi. Karena, pasar-pasar tersebut telah kehilangan pembeli. 

Dengan ditutupnya beberapa pasar tradisional di Jakarta dianggap telah menyebabkan para pedagang kecil makin termarjinalkan. Para pengamat menilai bahwa para pedagang kecil makin sulit berlabuh. Kalah oleh kompetisi dagang yang kian lama kian ketat.

Nasib mereka serupa dengan para pedagang kaki lima yang tampak terengah-engah meraup rezeki di Jakarta. Jadilah Ibu Kota mewujud dalam bentuknya yang tidak manusiawi dan tidak ramah untuk orang kecil.

Selanjutnya kecaman yang sering muncul adalah anggapan bahwa kebijakan pemerintah daerah tidak "pro rakyat". Banyak pedagang dan pengusaha kecil mengeluhkan hal serupa. Meskipun pemerintah daerah mungkin telah berusaha menjaga dan mendukung pertumbuhan dan perkembangan usaha kecil dan menengah (UKM). Namun, masih banyak yang beranggapan bahwa pemerintah hanya memiliki kepentingan politis dalam memperjuangkan sektor UKM.

Sebenarnya pemerintah DKI Jakarta telah memiliki aturan yang jelas mengenai bagaimana melindungi pasar tradisional dari persaingan yang tidak seimbang dengan pasar modern. Hal ini tertuang dalam Peraturan Daerah (perda) Propinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 2 Tahun 2002 tanggal 18 Maret 2002 tentang Perpasaran Swasta di Provinsi DKI.

Perda tersebut sebenarnya telah mengatur mekanisme harga untuk melindungi pedagang tradisional. Pada pasal 9 misalnya dikatakan "harga jual barang-barang sejenis yang dijual tidak boleh jauh lebih rendah dengan yang ada di warung dan toko sekitarnya".

Masih dipasal 9. Untuk usaha perkulakan (grosir) secara jelas dikatakan bahwa usaha grosir tidak boleh menjual langsung ke konsumen, "kegiatan penjualan dilakukan dalam ukuran partai besar atau dalam jumlah tertentu seperti dalam bentuk lusinan, kodian, grosiran, dan takaran/ timbangan yang tidak dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir tetapi dalam bentuk keanggotaan (member)". 

Selain masalah harga perda juga telah mengatur mengenai bagaimana pasar modern harus menjual produknya sehingga tidak mematikan pasar tradisional. Pada pasal 16 misalnya dikatakan "setiap penyelenggaraan usaha perpasaran swasta skala besar dan usaha perpasaran swasta skala menengah yang melakukan kegiatan usahanya secara grosiran dilarang: (a) melakukan kegiatan usahanya sebagai pedagang pengecer; (b) menjual komoditi secara langsung kepada konsumen akhir". 

Aturan-aturan di atas jelas menunjukkan keberpihakan pada pedagang kecil dan pasar tradisional masih ada. Namun, persoalannya sampai saat ini aturan tersebut tidak mampu dilaksanakan dengan baik oleh pemerintah daerah. Pemerintah provinsi DKI Jakarta seperti tak berdaya ketika berhadapan dengan pengusaha-pengusaha besar.

Alih-alih melaksanakan aturan yang ada saat ini Pemprov DKI Jakarta justru ingin merevisi perda. Menurut Asisten Perekonomian dan Administrasi Sekretaris Daerah DKI Jakarta, Mara Oloan Siregar, nantinya perda yang baru akan menggantikan perda No 2 tahun 2002 (detik.com, 13/2/2009). 

Sesungguhnya revisi peraturan menjadi tidak berarti jika pemerintah tidak memiliki komitmen kuat untuk merealisasikannya. Semoga Pemprov DKI yang saat ini tengah dipimpin oleh "ahlinya" benar-benar mengerti bagaimana harus melindungi pasar-pasar tradisional. Bukan sebaliknya malah terlibat dalam matinya pasar tradisional.