Mengenai Saya

Foto saya
Jakarta, Indonesia
Pemerhati dan pelaku pembangunan ulang Pasar tradisional. Ya, itulah saya, yang 5 tahun terakhir konsen untuk mendedikasikan aktivitas bisnis dan Grup usaha dalam rangka melayani pedagang tradisional untuk mendapatkan haknya kembali menikmati Pasar Tradisional yang bersih, nyaman dan aman, layaknya Pasar Modern lainnya. Mereka bisa, seharusnya PASAR TRADISIONAL juga BISA!!!!!!! ITQONI GROUP sudah membuktikannya DUA KALI!!!!

Kamis, 28 Mei 2009

'Pedagang tradisional frustrasi' Orientasi wirausaha dan aset terus menyusut

JAKARTA: Pedagang pasar tradisional sudah sampai taraf sangat frustrasi menghadapi persaingan yang timpang dengan toko modern, sehingga menurunkan kemampuan orientasi pasar dan kewirausahaan.

Demikian salah satu kesimpulan disertasi Aset Berbasis Pasar dan Hubungannya terhadap Kinerja Peritel: Peran Mediasi Orientasi Kewirausahaan dan Orientasi Pasar yang disampaikan Rizal Halim pada sidang akademik Universitas Indonesia, kemarin.

Dalam disertasinya, Rizal Halim yang meraih gelar doktor dalam Ilmu Manajemen Kekhususan Manajemen Pemasaran, menyatakan akibat penurunan orientasi kewirausahaan dan pasar menyebabkan kinerja pedagang pasar tradisional terpuruk, dan asetnya terus menyusut.

"Seharusnya jika makin tinggi intensitas persaingan, akan menguatkan orientasi kewirausahaan dan pasar yang akhirnya meningkatkan kinerja. Namun, karena pedagang pasar tradisional sangat frustrasi, mereka tidak mampu menciptakan yang semestinya terjadi," kata Rizal menjawab pertanyaan penguji, kemarin.

Tingkat frustrasi pedagang tradisional tersebut ditunjukkan dari angka negatif yang signifikan dari data korelasi antara intensitas persangan terhadap orientasi kewirausahaan.

Menurut Rizal, intensitas persaingan akan menurunkan orientasi pasar yang lebih besar lagi.

"Tingkat pedagang yang sangat frustrasi seperti sekarang ini jika sampai terus dibiarkan, bisa mengakibatan pedagang pasar tradisional dalam 5 tahun ke depan hilang."

Berdasarkan hasil penelitiannya, Rizal menemukan tiga faktor utama yang menyebabkan tingkat kewirausahaan dan orientasi pasar perdagangan tradisional makin memburuk.

Pertama, faktor lokasi toko modern yang makin berdekatan dengan pasar tradisional sehingga menimbulkan persaingan yang tidak adil, karena peritel modern didukung dengan modal kuat dan manajemen yang baik.

Kedua, harga pembelian produk di toko modern umumnya lebih rendah dibandingkan dengan harga pembelian pedagang di pasar tradisional.

Ketiga, inkonsistensi kebijakan pemerintah daerah dalam memperuntukkan lahan wilayahnya, seperti di Margonda, Depok, yang seharusnya dalam 25 tahun ini difokuskan untuk wilayah pendidikan kini malah dikepung toko modern.

Ketiga faktor tersebut menyebabkan kinerja dan aset yang dimilikipedagang terus menurun. "Jika sebelumnya pedagang punya tiga lapak, saat ini tidak lagi yang dimiliki, dan sebagian di antaranya terpaksa menyewa," kata Rizal.

Harga kios

Pada bagian lain, Rizal mengungkapkan peremajaan pasar yang diserahkan kepada swasta membuat para pedagangnya tidak bisa menebus kios yang sebelumnya ditempati, karena pengembang mematok harga tinggi.

Menurut dia, untuk menghindari pengikisan jumlah pedagangpasar tradisional, pemerintah harus membenahi cara pemberian izin dengan tidak memperbolehkan toko modern berlokasi atau mendekati permukiman, mengingat pasar tradisional dan toko kecil banyak berada di wilayah tersebut.

Di samping itu, pemerintah juga diminta membuat kebijakan yang menyebabkan harga barang sejenis di toko modern dijual lebih tinggi dibandingkan dengan harga pasar tradisional.

"Misal, dengan cara pengenaan pajak yang akan berpengaruh pada harga jual di toko modern," katanya menjelaskan.

Pengelola pasar juga diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan pedagang tradisional atas manajemen ritel, seperti pentingnya pencahayaan untuk menarik pengunjung, sirkulasi pengunjung, tata cara pembuangan sampah, dan memberikan lorong lalu lalang yang nyaman bagi pengunjung.

Selain itu, diharapkan ada asosiasi pedagang pasar yang berinisiatif membuat pusat distribusi. Asosiasi tersebut membeli jumlah barang dalam partai besar dari industri, sehingga ketika dikontribusikan, pedagang bisa mendapatkan harga beli yang kompetitif.

Pemerintah pada tahun ini mengalokasikan dana renovasi untuk sejumlah pasar tradisional senilai Rp435 miliar, dalam program stimulus 2009.

Dana tersebut disalurkan melalui dua institusi, yakni Kementerian Negara Koperasi dan UKM sebesar Rp100 miliar dan Departemen Perdagangan sebesar Rp335 miliar.

Kementerian Negara Koperasi dan UKM optimistis dana tersebut sudah mulai disalurkan pada Juni 2009.

Sebaliknya Departemen Perdagangan terpaksa menunda programnya dengan alasan ketidaksiapan pemerintah daerah, setelah sebelumnya Komisi VI DPR meminta dilakukannya verifikasi pasar sasaran. (linda.silitonga@bisnis. co.id)

Oleh Linda T. Silitonga
Bisnis Indonesia

Senin, 25 Mei 2009

Harga Kios Pasar mahal, Pedagang Frustras

Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menilai pengelola pasar tradisional tidak memberikan harga jual kios secara wajar, sehingga pedagang tidak mampu mempertahankan bisnisnya setelah bangunan pasar direnovasi.

Ketua Umum APPBI, A. Stefanus Ridwan S., bahkan menilai PD Pasar Jaya-BUMD pengelola 150 pasar di DKI Jakarta-kelewatan sampai menetapkan harga jual kios Rp 60 juta per m2 untuk merenovasi Pasar Mayestik, misalnya.

"Harga jual apartemen mewah di Jakarta itu Rp 10 juta-Rp 15 juta per m2, masak kios pasar yang kotak dan lempang saja [bentuknya] dijual dengan harga Rp 60 juta per m2. Ini tidak wajar," kata Stefanus.

APPBI mempertanyakan sikap pengelola pasar, jika sebenarnya harga kios yang harusnya bisa dibebankan kepada pedagang pasar tradisional dengan harga sekitar Rp 7,5 juta per m2 mengapa harus menetapkan harga puluhan juta rupiah. Akibatnya, penetapan harga kios yang kelewat tinggi tersebut tidak mampu ditoleransi oleh pedagang pasar yang beromzet kecil. Mereka akhirnya pasrah, tidak mampu menebus kembali kios yang dimiliki pascarenovasi. (Bisnis Indonesia)

Harga Kios Pasar mahal, Pedagang Frustras

Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menilai pengelola pasar tradisional tidak memberikan harga jual kios secara wajar, sehingga pedagang tidak mampu mempertahankan bisnisnya setelah bangunan pasar direnovasi.

Ketua Umum APPBI, A. Stefanus Ridwan S., bahkan menilai PD Pasar Jaya-BUMD pengelola 150 pasar di DKI Jakarta-kelewatan sampai menetapkan harga jual kios Rp 60 juta per m2 untuk merenovasi Pasar Mayestik, misalnya.

"Harga jual apartemen mewah di Jakarta itu Rp 10 juta-Rp 15 juta per m2, masak kios pasar yang kotak dan lempang saja [bentuknya] dijual dengan harga Rp 60 juta per m2. Ini tidak wajar," kata Stefanus.

APPBI mempertanyakan sikap pengelola pasar, jika sebenarnya harga kios yang harusnya bisa dibebankan kepada pedagang pasar tradisional dengan harga sekitar Rp 7,5 juta per m2 mengapa harus menetapkan harga puluhan juta rupiah. Akibatnya, penetapan harga kios yang kelewat tinggi tersebut tidak mampu ditoleransi oleh pedagang pasar yang beromzet kecil. Mereka akhirnya pasrah, tidak mampu menebus kembali kios yang dimiliki pascarenovasi. (Bisnis Indonesia)

Rabu, 20 Mei 2009

Pasar Tradisional Makin Terjepit (Kompas: Abdul Hakim)

Menjamurnya pasar modern, dari minimarket hingga supermarket mulai dari daerah perkotaan hingga perkampungan di Jakarta membuat kalangan pedagang pasar tradisional makin terjepit.

Salah seorang pedagang di Pasar Jatinegara, Orih (45), mengaku sulit bersaing karena selain barang dagangan yang beragam, harga yang ditawarkan di pasar modern pun saat ini tergolong murah. "Sebagai pedagang kecil, kami tidak tahu, apa yang harus kami lakukan," kata Orih.

Perempuan yang sudah berdagang sejak tahun 1980-an ini  menduga menurunnya daya beli masyarakat di pasar tradisional selama ini akibat konsumen lebih suka memilih belanja di pasar modern, ketimbang di pasar tradisional.

Menurut Orih, selain murah, lingkungan di dalam pasar modern tampak bersih disertai dengan pelayanan yang memuaskan. "Itu lah daya tawar tersendiri yang diberikan pasar modern kepada masyarakat," ujar Orih yang setiap harinya berjualan minyak goreng dan kebutuhan pokok lainnya.

Selama ini, lanjut dia, pasar tradisional distigmakan dengan kondisi pasar yang becek dan bau, tawar-menawar yang rumit, tidak aman, risiko pengurangan timbangan, penuh sesak, dan sejumlah alasan lainnya.

Padahal, pasar tradisional juga masih memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki pasar modern, di antaranya adalah masih adanya kontak sosial saat tawar-menawar antara pedagang dan pembeli. "Tidak seperti pasar modern yang memaksa konsumen untuk mematuhi harga yang sudah dipatok," katanya.

Bagaimanapun juga, kata dia, pasar tradisional lebih menggambarkan denyut nadi perekonomian rakyat kebanyakan. Di tempat itu, masih banyak orang yang menggantungkan hidupnya, mulai dari para pedagang kecil, kuli panggul, hingga pedagang asongan.

Sementara itu, salah seorang pedagang sembako di pasar tradisional Pasar Senen, Jakarta Pusat, Sri Astutik, mengkhawatirkan jika hal itu dibiarkan berlarut-larut maka bisa saja di kemudian hari pasar tradisional di Jakarta akan lenyap begitu saja dan diganti dengan pasar modern.

Untuk itu, kata dia, pemerintah sebagai regulator pasar harus menata pembangunan pasar modern sehingga kompetisi perdagangan antara pedagang tradisional dan modern tidak saling rebut lahan. "Mestinya diatur, jarak sekian kilometer dari pasar tradisional tidak boleh dibangun minimarket. Sebab kalau tidak, nanti kami yang jualan di pasar tradisional bisa dirugikan," katanya.

Prihatin

Manajer Area II Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya, Ivo Edwin Adyanto, mengatakan, prihatin maraknya pasar modern yang sewaktu-waktu bisa menggilas pasar tradisional.

Kendati telah diterbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, serta Toko Modern, tetapi hal itu tidak semata-mata bisa mengendalikan perilaku konsumen yang lebih suka ke pasar modern. "Sebagai pengelola pasar, kami mengkhawatirkan hal itu," katanya.

Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu adanya langkah nyata dari pedagang pasar agar dapat mempertahankan pelanggan dan keberadaan usahanya.

Para pedagang di pasar tradisional harus mengembangkan strategi dan membangun rencana yang mampu memenuhi kebutuhan dan tuntutan konsumen sebagaimana yang dilakukan pasar modern.

Jika tidak, maka mayoritas pasar tradisional di Indonesia hanya akan menjadi sejarah yang tersimpan dalam album kenangan industri ritel di Indonesia dalam waktu yang relatif singkat.

Kendati demikian, kata dia, pihak pengelola pasar mengaku tidak punya kewenangan untuk melakukan intervensi terhadap transaksi perdagangan di pasar. "Kami hanya menyiapkan tempat saja. Bagaimana harga barang dan mekanisme penjualannya itu kami serahkan kepada masing-masing pedagang," ujarnya.

Menurut Ivo, dalam kondisi tertentu transaksi di pasar memang mengalami kelesuan. Apalagi di tempat-tempat tertentu, seperti lantai II Pasar Senen yang kerap sepi dari pembeli. Kondisi pasar seperti itu katanya tidak bisa dipaksakan menjadi ramai karena setiap pasar kondisinya berbeda-beda. "Kami tidak bisa paksakan karena daya beli masyarakat juga berbeda-beda," katanya.

Terkait dengan adanya Iuran Pemeliharaan Pasar (IPP), pengelola pasar juga melihat situasi dan kondisi pedagang yang bersangkutan. "Bahkan ada pedagang yang kadang tidak bayar. Kami juga tidak paksakan karena memang kondisinya memprihantinkan," kata Ivo.

Besarnya IPP tersebut, katanya, dihitung berdasarkan mata lampu yang terpasang di tempat jualan pedagang yang bersangkutan. Setiap mata lampu dikenakan biaya Rp 1.000 per hari, sedangkan untuk biaya pengelolaan pasar Rp 5.000 per hari.

Perkembangan Pesat

Eksistensi pasar modern di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Menurut data yang diperoleh dari Euromonitor tahun 2004, hypermarket merupakan peritel dengan tingkat pertumbuhan paling tinggi (25 persen), koperasi (14,2 persen), minimarket (12,5 persen), independent grocers (8,5 persen), dan supermarket (3,5 persen).

Selain mengalami pertumbuhan dari sisi jumlah dan angka penjualan, peritel modern mengalami pertumbuhan pangsa pasar sebesar 2,4 persen per tahun terhadap pasar tradisional.

Keberadaan pasar modern di Indonesia akan berkembang dari tahun ke tahun. Perkembangan yang pesat ini bisa jadi akan terus menekan keberadaan pasar tradisional pada titik terendah dalam 20 tahun mendatang.

Pasar modern yang notabene dimiliki oleh peritel asing dan konglomerat lokal akan menggantikan peran pasar tradisional yang mayoritas dimiliki oleh masyarakat kecil dan sebelumnya menguasai bisnis ritel di Indonesia

Jumat, 15 Mei 2009

Tunda Renovasi Bukti Tidak Paham Basib Pedagang Pasar Tradisional (Bisnis)

JAKARTA (bisnis.com): Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) menilai penundaan pembangunan pasar tradisional, yang dibiayai dana stimulus, membuktikan ketidakpahaman terhadap nasib pedagang yang kronis.

"Berarti anggota Dewan yang terhormat tidak memahami benar bagaimana nasib pedagang pasar yang sudah kronis," ujar Ngadiran, Sekretaris Jenderal APPSI, menanggapi penundaan pembangunan pasar yang sedianya dilakukan pada tahun ini.

Penundaan itu, menurut Ngadiran, kemungkinan karena mereka tidak memahami bahwa pasar tradisional merupakan salah satu infrastuktur ekonomi bangsa ini.

Aria Bima, anggota Komisi VI dari Fraksi PDIP, sebelumnya meminta penataan kembali dana stimulus sebesar Rp215 miliar itu dialokasikan untuk apa saja, dan apabila tidak bisa direlokasi lebih baik dibatalkan saja dari pada jadi masalah.

Adapun anggota Komisi VI (F-PG) Azwir Dainy Tara, menuding program stimulus itu tidak mencerminkan azas keadilan, karena hanya beberapa pemerintahan daerah saja yang mendapatkannya.

"Kita sepakati program ini ditunda dulu. Kami juga minta pemerintah tidak menjalankan kegiatan yang berkaitan dengan stimulus, sebab dalam waktu dekat akan diadakan rapat internal," kata Agus Hermanto, Wakil Ketua Komisi VI DPR.

Sekjen Departemen Perdagangan Ardiansyah Parman mengatakan penundaan program itu lebih disebabkan karena ketidaksiapan pemerintah daerah menyelesaikan pembangunan pasar dan gudang dalam waktu singkat.

"Pemda tidak sanggup selesaikan proyek dalam waktu singkat. Sebentar lagi Juni. Proyek ini juga belum ditender, sementara target sebelumnya proyek selesai Oktober, tidak ada yang sanggup," kata Ardiansyah seusai RDP. (mfm)

90% Pasar Tradisional Mengenaskan

Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) mencatat setidaknya dari kurang lebih 13.450 pasar tradisional yang tersebar seluruh di Indonesia, hampir 90% berada dalam kondisi kritis. Sedangkan sisanya sebanyak 10% berada dalam kondisi relatif baik.

ADVERTISEMENT

Demikian disampaikan oleh Sekjen APPSI Ngadiran saat ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat (15/5/2009).

"Dari 13.450 pasar tradisional di Indonesia, hanya  10% yang kondisinya layak  untuk transaksi jual beli," imbuhnya.

Menurutnya 10% pasar tradisional itu kondisinya cukup layak yaitu tidak becek, tidak bau, memiliki fasilitas parkir, fasilitas umum MCK, tersedianya taman dan lain-lain. Sedangkan sisanya memiliki kondisi yang mengenaskan.

Batalnya stimulus revitalisasi pasar pada tahun ini, lanjut Ngadiran, seperti petir yang menyambar di siang bolong. Padahal kata dia, para pedagang pasar sebelumnya sangat menyambut sumringah rencana revitalisasi tersebut.

Kondisi pasar tradisional yang memprihatinkan itu, secara langsung telah menggerus omset pedagang pasar yang rata-rata setiap tahun mengalami penurunan omset hingga  40%, jika  dibandingkan era tahun 1990-an lalu.

"Sekarang masyarakat memang datang tapi belanjanya sedikit. Ada juga dari  mereka yang datang karena kangen untuk bernostagia saja ke pasar tradisional," keluhnya.

Ia memperkirakan untuk memperbaiki kondisi pasar tradisional yang jumlahnya hingga belasan ribu dalam kondisi kritis setidaknya membutuhkan anggaran hingga Rp 11 triliun dengan asumsi setiap pasar menelan dana Rp 1 miliar.

"Jangankan Rp 200 miliar, Rp 5 triliun pun nggak bakal cukup," imbuhnya.

Kamis, 14 Mei 2009

Permendag Penataan Toko Modern rugikan Pasar Tradisional

Jakarta (ANTARA News) - Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 53 tahun 2008 tentang pedoman penataan dan pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan, dan toko modern dinilai merugikan kepentingan pasar tradisional.

"Permendag tersebut merugikan kepentingan pasar tradisional dari berbagai segi," kata Ketua Badan Komunikasi Pemuda Koperasi (BKPK) Dekopin, Adji Gutomo, di Jakarta, Jumat.

Ia mengatakan, dalam aturan tersebut kepentingan pasar tradisional telah terlanggar di antaranya dalam hal jaminan pasokan barang pasar tradisional.

Di dalam Permendag itu tidak diatur jaminan pasokan barang dari pemasok ke pasar tradisional.

"Sesuai dengan pasal 7 ayat 1, Permendag hanya mengatur pasokan barang ke toko modern," katanya.

Selain itu, menurut dia, perlu adanya jaminan bagi pasar tradisional untuk mendapatkan harga beli barang dari pemasok yang sama atau lebih murah daripada toko modern.

Permendag hanya mengatur jaminan toko modern untuk tidak menjual barang-barang kebutuhan pokok dengan harga lebih murah dari pasar tradisional.

"Dalam Permendag juga tidak ada pengaturan mekanisme kerja sama dan imbal komersial antara pemasok dengan pasar tradisional," katanya.

Sebaliknya, pasar modern justru mendapat perlakuan khusus pengaturan imbal komersial dari pemasok.

Menurut Adji, pendirian pasar tradisional perlu dipermudah, tidak seperti saat ini di mana persyaratan pendirian pasar tradisional dipersamakan dengan pasar modern yang mewajibkan untuk memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan keberadaan UMKM serta pasar tradisional lain yang ada di sekitar lokasi tersebut.

Ia mengatakan, persoalan lain seperti izin usaha minimarket juga sebenarnya tidak perlu menggunakan dokumen analisis kondisi sosial ekonomi masyarakat. Adanya kemudahan tersebut akan berdampak semakin menjamurnya jumlah minimarket yang dikhawatirkan mematikan pasar tradisional.

"Permendag seharusnya berpihak kepada pasar tradisional dengan mencantumkan batasan aturan jarak pendirian pasar modern relatif terhadap keberadaan pasar tradisional," katanya.

Adji menekankan, justru hal itu sebaiknya diserahkan kepada Pemerintah Daerah masing-masing wilayah. (*)

Menyelamatkan Pasar Tradisional

Program revitalisasi pasar tradisional sejauh ini tidak memberikan manfaat yang optimal bagi para pedagang. Padahal, pasar tradisional memiliki peran strategis dalam pembangunan daerah, khususnya bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Ia menjadi mesin pertumbuhan ekonomi di daerah.


UMKM, yang merupakan segmen utama pasar tradisional, berperan dalam membuka lapangan kerja secara luas dan menciptakan pendapatan bagi sebagian besar pekerja berpendapatan rendah. Implikasinya, peningkatan peran UMKM tidak hanya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun juga mengurangi kemiskinan dan memperbaiki distribusi pendapatan. Selain itu, UMKM juga berperan besar dalam penyediaan dan distribusi barang dengan harga murah untuk konsumsi domestik.

Sayangnya, meski memiliki peran dan kontribusi signifikan, kondisi pasar tradisional kini tidak terlalu menggembirakan, untuk tidak dikatakan semakin memburuk. Jumlah pasar tradisonal yang mencapai 24 ribu dan menyediakan lapangan kerja setidaknya kepada 12 ribu pedagang, namun dalam tahun-tahun terakhir ini mengalami pertumbuhan minus 8% per tahun dibandingkan pertumbuhan pasar modern yang mencapai 31,4%.

Parahnya lagi, tekanan persaingan terbesar bagi pasar tradisional justru datang dari minimarket yang berlokasi dekat permukiman. Kondisiini membuat pasar tradisional terpukul dan sebagian malah mulai terancam bangkrut Tanpa ada perubahan signifikan, pasar tradisional dipastikan akan semakin tersingkir.

Saling Mengisi


-Wia memiliki UU No 9/1995 ten-tanfeUsaha Kecil dan UU Penanaman Modal 2007, yang seyogianya menjadi acuan untuk meninjau ulang tata perekonomian kita agar lebih berpihak kepada UMKM sebagai basisekonomi domestik. Dengan aturan ini, pasar tradisional dan pasar modern semestinya tidak lagi dihadapkan pada posisi saling berlawanan, justru sebaliknya, bagaimana memanfaatkan keberadaan pasar modern untuk memajukan pasar tradisional. Pasar modern juga harus dituntut untuk membuka diri bagi pemasok-pemasok UMKM dengan persyaratan yang ringan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pasar modern memiliki posisi tawar yang sangat kuat di hadapan UMKM yang menjadi supplier-nya. Upaya-upaya menegakkan persaingan sehat seperti ini jauh lebih dibutuhkan UMKM daripada intervensi proteksio-nis yang seringkali mendistorsi pasar dan rawan korupsi.

Di saat yang sama, ketentuan jarak antara pasar modern dan pasar tradisional juga tetap harus ditegakkan. Pasar-pasar modern yang melanggar ketentuan tata ruang dan berada di jalur hijau, juga harus ditindak secara tegas. Pasar modern yang berdiri di daerah persimpangan jalan (junction), sehingga sering menyebabkan kemacetan parah, juga ndak boleh lagi terjadi.

Hal yang juga tak kalah pentingnya adalah jangan sampai pemerintah daerah dan pengelola pasar tradisional membiarkan para pemodal dan pedagang besar membangun ruko-ruko di sekitar pasar tradisional, sehingga menarik pedagang untuk mengumpul di luar pasar. Para pedagang kaki lima yang banyak berjualan di luar pasar juga harus direlokasi ke dalam pasar secara persuasif, disertai dengan pemberian insentif-insentif yang tepat


Reformasi Internal


Namun, permasalahan mendasar pasar tradisional adalah lemahnya pengelolaan dan manajemen yangmembuat perkembangannya sangat lambat Ada dua masalah penting terkait hal ini, yakni anggaran dan kewenangan. Ruang manuver bisnis BUMD pengelola pasar tradisional selama ini banyak terhambat karena dua masalah dasar ini. Peremajaan bangunan, misalnya, sering terkendala anggaran dan pengalihan aset yang harus mendapat persetujuan dari pemerintah daerah dan DPRD.

Selain itu, dibutuhkan pula reorganisasi dan reformasi SDM di tubuh pengelola pasar tradisional. BUMD pengelola pasar tradisional selama ini lebih banyak dipimpin oleh orang-orang nonbisnis yang tidak memiliki kualifikasi dan naluri entrepreneur-shipyang memadai. BUMD pengelola pasar juga banyak terbelenggu oleh cara-cara kerja lama yang tradisional, inefisien, dan tidak produktif.

Langkah penting lainnya adalah penerapan kontrak kerja secara ketat Seiring perluasan kewenangan dan peningkatan modal, sumber dana BUMD pengelola pasar akan semakin luas dan tidak lagi hanya berasal dari penerimaan di pasar tradisional, seperti penerimaan service charge, perizinan, dan retribusi sarana serta prasarana, namun juga dapat berasal dari hasil kerja sama, seperti hak atas satuan apartemen/rumah susun, perkantoran, dan tempat usaha, serta kerja sama dengan pihak ketiga.

Dengan potensi penghimpunan dana yang jauh lebih besar, ke depan kinerja BUMD pengelola pasar harus dapat dievaluasi secara progresif! Kelemahan terbesar dalam pengelolaan BUMD selama ini adalah agency problem, yaitu ketiadaan insentif untuk monitoring secara berkesinambungan. Untuk itu, dibutuhkan penerapan kontrak kinerja, di mana manajemen akan mendapat rewards and penalties berdasarkan kinerja perusahaan.

Dengan demikian, kata kunci bagi program revitalisasi pasar tradisional yang sepatutnya kita lakukan adalah penciptaan daya saing pasar tradisional itu sendiri untuk melahirkan trading belt corridors, melalui penciptaan lapangan kerja, mempromosikan komoditas unggulan daerah, dan pada gilirannya akan meningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Semoga! Sigit Pramono dan Yusuf


Wibisono adalah Ekonom The Indonesian Development of Institution and Economics (Indie Institute)

 

Sumber: INVESTOR DAILY INDONESIA

Rabu, 13 Mei 2009

Pasar Tradisional Makin Terkepung

PURWAKARTA, KOMPAS.COM--Sejumlah pedagang menilai Pemerintah Kabupaten Purwakarta belum optimal mengelola pasar tradisional. Akibatnya, aset milik pemerintah daerah tersebut sulit berkembang di tengah persaingan yang semakin ketat.

Ketua Ikatan Warga Pasar Rebo, Kabupaten Purwakarta, Zaenal Muttaqien, Selasa (21/4) di Purwakarta, mengatakan, berdirinya supermarket, toko swalayan, dan minimarket baru membuat persaingan usaha semakin ketat. Setiap pelaku usaha berlomba meningkatkan pelayanan untuk merebut konsumen.

"Pedagang pasar tradisional kian sulit bersaing karena faktor lokasi, harga, produk, dan promosi semakin tertinggal dari toko swalayan, minimarket, atau supermarket," ujarnya.

Lokasi pasar tradisional umumnya kalah strategis dibandingkan dengan pasar modern. Selain itu, fasilitas seperti lahan parkir, akses masuk, penerangan, toilet, dan pemadam kebakaran di pasar tradisional terbatas atau bahkan tidak ada.

Menurut Zaenal, harga barang di pasar tradisional juga sulit bersaing akibat panjangnya rantai distribusi. Pedagang terpaksa menekan keuntungan agar harga lebih bersaing, tetapi itu tidak cukup membantu mengatasi peliknya persaingan.

Komoditas spesifik pasar tradisional juga semakin berkurang karena semakin banyak produk serupa ditawarkan pasar modern. Beberapa jenis sayur dan buah-buahan yang dulu hanya dijual di pasar tradisional sekarang banyak dijual di pasar modern. Produk yang diperdagangkan pasar tradisional dan pasar modern pun semakin seragam.

Akumulasi beragam masalah itu tampak dari lemahnya daya saing pedagang pasar tradisional. Ia mencontohkan kondisi Pasar Rebo yang toko, kios, dan lapaknya semakin banyak dikosongkan, disewakan atau dijual pemiliknya beberapa tahun terakhir.

"Para pedagang memilih menyewakan, mengosongkan, atau menjual kiosnya karena terus merugi. Kini hanya 67 persen dari sekitar 520 pedagang yang masih mempertahankan kiosnya untuk berjualan," ujar Zaenal.

Revitalisasi

Zaenal menambahkan, sebagai aset yang menyumbangkan pendapatan daerah, pasar tradisional idealnya dikelola dengan baik. Peran pemerintah bisa diwujudkan dengan memperbaiki infrastruktur; memperbaiki fasilitas umum; meningkatkan daya saing pedagang melalui bantuan permodalan, dan bimbingan manajemen; serta membantu mendekatkan akses pedagang ke konsumen atau produsen.

Menurut Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Pasar Rebo dan Pasar Simpang Dadan Kadarusman, meski muncul toko swalayan, minimarket, atau supermarket baru, jumlah pedagang pasar tradisional justru bertambah beberapa tahun terakhir. Pendapatan retribusi di Pasar Rebo, misalnya, meningkat dari rata-rata Rp 670.000 per hari pada tahun lalu menjadi Rp 850.000 per hari sejak awal tahun ini. Peningkatan itu antara lain akibat bertambahnya jumlah pedagang.

"Jumlah pasar tradisional memang tidak bertambah. Namun, secara kasatmata pedagang yang berjualan semakin banyak. Lahan-lahan kosong di sekitar pasar kini dipakai berjualan," kata Endang Koswara, Kepala Dinas Koperasi, UMKM, Perindustrian, dan Perdagangan Kabupaten Purwakarta.

Upaya mempertahankan pasar tradisional dilakukan dengan revitalisasi. Program itu diwujudkan dengan menata kembali kios, memperbaiki infrastruktur, dan melengkapi fasilitas pasar. Dalam waktu yang belum ditentukan, pemerintah daerah berencana merelokasi pedagang Pasar Rebo ke Pasar Simpang. Pada kurun waktu tiga tahun terakhir, upaya relokasi selalu gagal karena ditentang pedagang. (mkn)

Bukan Karena Peritel Modern

Bukan karena Kehadiran Peritel Modern

Kesuksesan Pasar Modern BSD City Marketplace dengan gamblang menunjukkan bahwa pasar tradisional sejatinya bisa dikembangkan menjadi lebih baik dan dikelola secara lebih profesional sehingga bisa bersaing dengan pasar modern. Dengan kata lain, dalam menjaga eksistensinya, pasar tradisional tidaklah cukup hanya berlindung pada peraturan pemerintah, seperti diatur dalam Perpres No. 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern serta Permendag No. 53/2008 sebagai peraturan pelaksanaan Perpres itu, tetapi juga harus mampu membenahi kembali dirinya sendiri agar dapat tumbuh dan berkembang di tengah makin berkembangnya usaha perdagangan eceran modern berskala besar.

Jadi, jika pasar-pasar tradisional itu sendiri tidak dikembangkan dengan lebih baik dan dikelola secara lebih profesional mengikuti keinginan masyarakat, maka bukan tidak mungkin pasar tradisional pun makin ditinggalkan masyarakat, walaupun telah ada seperangkat peraturan pemerintah yang melindungi eksistensinya. “Sebenarnya pasar tradisional masih mendominasi nilai penjualan ritel nasional dan mereka memiliki banyak keunggulan yang tidak dimiliki ritel modern, seperti barang dagangan yang segar, ada proses tawar-menawar, pembeli bisa membeli barang dalam volume begitu kecil, dan adanya social attachment antara penjual dan pembeli,” ujar Benjamin J. Mailool, ketua umum DPP Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo). Peningkatan daya saing pasar tradisional tidak cukup hanya dengan mengandalkan pengaturan letak usaha ritel atau peraturan zonasi ritel dari pemerintah saja.

Hasil riset The SMERU Research Institute menegaskan hal itu. Dalam studinya tentang dampak supermarket terhadap pasar dan pedagang ritel tradisional di daerah perkotaan di Indonesia pada November 2007 terdapat dua temuan penting. Pertama, temuan kuantitatif menunjukkan bahwa supermarket secara statistik tidak memiliki dampak signifikan terhadap penerimaan dan keuntungan pedagang di pasar tradisional.

Kedua, temuan kualitatif menunjukkan bahwa kelesuan usaha pedagang di pasar tradisional kebanyakan bersumber pada masalah internal pasar tradisional itu sendiri (bukan karena hadirnya pasar modern), yaitu minimnya infrastruktur dasar di pasar, meningkatnya persaingan pedagang pasar dengan para pedagang kaki lima yang memenuhi sekitar pasar, kurangnya dana pedagang pasar untuk pengembangan usaha, dan merosotnya daya beli pelanggan akibat lonjakan harga BBM. Oleh sebab itu, SMERU memberikan rekomendasi kebijakan bahwa untuk menjamin keberlangsungan pasar tradisional diperlukan perbaikan sistem pengelolaan pasar tradisional yang memungkinkannya dapat bersaing dan tetap bertahan bersama kehadiran supermarket.

Jadi, pasar-pasar tradisional sekarang dituntut harus mampu membenahi dirinya sendiri. Dan, seperti yang terlihat pada Pasar Modern BSD City, pembenahan itu terbukti bisa dilakukan. Pasar tradisional barangkali tidak bisa selamanya menuding pasar modern sebagai pihak yang bersalah dalam hidup matinya pasar tradisional. Pasar tradisional memang harus berbenah, baik dari segi fisik maupun manajemennya.

Manajemen PD Pasar Jaya, pembangun dan pengelola pasar-pasar tradisional di wilayah DKI Jakarta, mengakui hal itu. “Kalau kami berdiam diri, maka kami akan makin terpuruk,” tegas M. Nur Havidz, asisten manajer Divisi Humas PD Pasar Jaya. BUMD milik Pemprov DKI Jakarta ini menargetkan bisa melakukan peremajaan 63 pasar tradisional dari 151 pasar yang ada sampai tahun 2010 di Jakarta. Mereka juga akan meningkatkan kualitas para pedagangnya dengan cara memberikan pendidikan dan latihan agar bisa memberikan pelayanan prima kepada konsumen. “Jadi, jangan pasar sudah bagus, tetapi kualitas pedagangnya masih seperti dulu, misalnya berjualan masih pakai kaus kutang saja,” ungkap Havidz.

Pendanaan untuk membenahi pasar tradisional sebenarnya bukanlah persoalan besar. Pasalnya, Departemen Perdagangan telah menyediakan dana revitalisasi pasar tradisional yang setiap tahun terus meningkat. Pada 2007 sebesar Rp80 miliar untuk revitalisasi 80 pasar tradisional. Lalu pada 2008 sebesar Rp167 miliar untuk 104 pasar tradisional. Dan, tahun ini telah dialokasikan dana sebesar Rp250 miliar untuk pembangunan dan perbaikan pasar tradisional. Departemen Perdagangan mencatat terdapat 13.450 unit pasar tradisional di seluruh Indonesia yang menjadi tempat berkumpulnya 12,6 juta pedagang. Sektor perdagangan menyumbang sekitar 13% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Pasar Tradisional: Berubah atau Punah (Wartaeknonomi)

Pasar-pasar tradisional selayaknya tidak hanya berlindung pada peraturan pemerintah untuk menjaga eksistensinya. Mereka juga harus mampu membenahi dirinya sendiri. Pengembangan model hipermarket pasar tradisional patut ditiru.


Pernahkah Anda berbelanja di Pasar Modern BSD City Marketplace, Tangerang, Banten? Kalau ada waktu, tidak ada salahnya mencoba. Pasalnya, meskipun pasar yang berlokasi di dekat jalan tol Serpong-Bintaro itu adalah pasar tradisional (dengan ciri utama terdiri dari para pedagang kecil dan transaksi jual-beli barang dagangannya bisa dilakukan dengan proses tawar-menawar), tetapi kondisinya jauh berbeda dengan persepsi negatif kebanyakan orang terhadap pasar tradisional yang dianggap sebagai pasar yang kumuh dan semrawut. 

Seperti yang terekam pada Minggu pagi (18/1) lalu, Pasar Modern BSD City Marketplace justru terlihat bersih dan tertata rapi sehingga membuat nyaman pengunjungnya. Meskipun bukan hipermarket (dengan ciri utama berupa sistem pelayanan penjualan barang secara mandiri dan harga barang tidak bisa ditawar), tetapi lingkungan pasar seluas 2,6 hektar itu seperti layaknya hipermarket. Area parkirnya memadai, tak ada pedagang kaki lima, serta kebersihan dan keamanan yang terus terjaga. Tak heran jika pasar itu terus ramai dikunjungi pembeli, walaupun di sekitarnya, dalam radius kurang dari 30 kilometer, juga beroperasi enam peritel modern raksasa. Bahkan, pada malam hari pasar itu mampu berubah menjadi pasar wisata kuliner yang juga dipadati pengunjung.

Setelah dibenahi kembali pada 2004 (dan proses relokasi pedagangnya bisa dilakukan tanpa perlu terjadi konflik), Pasar Modern BSD City Marketplace terbukti mampu menarik minat banyak orang untuk berbelanja di sana. Bangunan fisik pasar dirancang beratap tinggi agar bisa menghasilkan sirkulasi udara alami sehingga pasar itu tidak menjadi pengap atau membuat pengunjung kegerahan meskipun tidak ada AC. Adanya enam pintu pasar yang lapang juga memudahkan pengunjung masuk-keluar pasar. Struktur bangunannya pun sengaja dibuat tanpa kolom sehingga tidak memungkinkan pedagang pasar menggantungkan barang dagangannya yang kerap merusak kerapian pasar. Sebagian atap bangunannya yang transparan dapat menghasilkan penerangan alami sehingga pemakaian listrik bisa dihemat. Alhasil, harga sewa lapak dapat tetap terjangkau para pedagang kecil. Pasar yang menyediakan 330 lapak, 320 kios, dan 100 ruko itu dilengkapi pula dengan fasilitas tempat pemotongan ayam, tempat penampungan sampah, instalasi air bersih, dan tempat ibadah.

Keberhasilan ditekannya distorsi pengelolaan pasar tradisional, yang sering menjadi biang keladi semrawutnya pasar tradisional, seperti yang terjadi di Pasar Modern BSD City Marketplace, ternyata menarik perhatian banyak pihak. Mereka menilai pasar itu patut menjadi contoh atau tolok ukur pengelolaan pasar-pasar tradisional lainnya di Indonesia. Selain pernah meraih penghargaan sebagai pasar tradisional terbaik dari sejumlah pihak, tidak sedikit pemerintah daerah dari provinsi lain mengunjungi Pasar Modern BSD City sebagai bahan studi banding. 

Masa Depan Pasar Tradisional (Oleh: Albert Napitupulu)

Pusat perbelajaan modern berkembang sangat pesat akhir-akhir ini. Khususnya di DKI Jakarta. Di berbagai wilayah terus tumbuh pusat-pusat perbelanjaan baru dengan berbagai bentuknya. Pusat-pusat perbelanjaan ini diisi oleh berbagai retailer (pegecer) yang umumnya adalah pengecer-pengecer besar, baik perusahaan pengecer multinasional maupun nasional.

Menurut riset First Pacific Davies dalam Asia Property Focus Oktober 1996, sampai akhir tahun 1996 ini pasokan total pusat perbelanjaan di Jakarta akan mencapai 1.1 juta meter persegi dan diperkirakan akan terus tumbuh pesat mengingat masih banyak pembangunan pusat perbelanjaan yang belum selesai. Diperkirakan pada tahun 1997 nanti akan bertambah 169.200 meter persegi pusat perbelanjaan baru. Pada tahun 1998 diperkirakan pasokannya akan bertambah lagi sebesar 243.000 meter persegi.

Dampak Pusat Perbelanjaan Modern
Perkembangan pusat perbelanjaan ini secara umum akan menguntungkan bagi konsumen karena semakin tersedia banyak pilihan untuk berbelanja. Persaingan yang semakin tajam antar pusat perbelanjaan dan juga antar pengecer juga akan menguntungkan karena mereka akan berusaha untuk menarik konsumen dengan memberikan pelayanan yang lebih baik. Meskipun demikian saat ini banyak pengusaha yang mengkhawatirkan akan terjadi kelebihan pasok. Kelebihan pasok ini bisa menyebabkan banyaknya kredit macet di pusat-pusat perbelanjaan, sebagaimana yang terjadi sektor properti saat ini.

Perkembangan pesat pusat perbelanjaan modern ini juga akan memberikan dampak pada keberadaan pasar tradisonal. Jakarta saat ini memiliki sekitar 150 pasar tradisional yang menampung sekitar 80.000 pedagang. Pedagang di pasar tradisional ini secara umum adalah pedagang-pedagang kecil bukan pengecer raksasa seperti pusat-pusat perbelanjaan modern.

Pusat perbelanjaan modern merupakan pesaing dan akan mengancam keberadaan pedagang di pasar tradisional.

Jika dahulu pusat perbelanjaan lebih banyak ditujukan untuk penduduk berpendapatan menengah keatas. Kini mereka mulai masuk juga ke kelas menengah kebawah. Para pengecer kini juga bervariasi memasuki berbagai segmen pasar.

Menurut laporan First Pacific Davies, konsumen di Jakarta dan sekitarya dapat dikelompokkan kedalam tiga kelompok menengah ke bawah. Kelompok menengah berjumalh 18 persen dan kelompok menengah kebawah berjumlah sekitar 69 persen.

Kelompok menengah ke atas adalah kelompok tenaga terampil dan tenaga manajemen yang memiliki pendapatan sangat tinggi untuk dibelanjakan. Kelompok merupakan sasaran pusat perbelanjaan seperti Sogo, Metro Galeria, Jc Penney, dan sejumlah speciality store ( toko khusus ) seperti Mark and Spencer, Mal Taman Anggrek dan Citra Land merupakan pusat perbelanjaan yang menggarap segmen pasar ini.

Kelompok menengah merupakan kelompok yang baru tumbuh daya belinya. Kelompok ini umumnya terdiri atas tenaga Manager muda dan teknisi terampil. Kelompok ini sekarang banyak diincar oleh berbagai pusat perbelanjaan. Beberapa mal baru yang mengincar kelompok ini seperti Mal Puri Indah di Jakarta Barat, Mal Mega di Jakarta Utara. Beberapa departement store seperti Mega-M dan Wall - Mart juga mengincar kelompok ini.

Kelompok menengah kebawah kini juga menjadi sasaran pusat perbelanjaan modern, kelompok ini umumnya memiliki pendidikan lebih baik dan lebih terbuka dengan alternatif belanja dibanding generasi tuanya. Kelompok ini lebih suka berbelanja di pasar modern dari pada di pasar tradisional. Kelompok ini juga diduga mempunyai potensi pertumbuhan yang kuat. Departement Store lokal seperti Matahari dan Ramayana merupakan pengecer yang sangat aktif menggarap kelompok ini. Di masa mendatang, generasi muda ini sangat potensial menyebabkan pergeseran kegiatan belanja dari pasar tradisional ke pusat perbelanjaan modern.

Jika semua segmen pasar telah digarap sedemikian gencarnya oleh para pengecer melalui pusat perbelanjaan modern, apa yang tersisa bagi pasar tradisional. Apakah pasar tradisional kini cukup memanfaatkan konsumen dengan pendapatan terendah, atau harus bersaing dengan mereka ? Bagaimana pasar tradisional bisa bersaing dengan pusat perbelanjaan modern?.

Keterbatasan Pasar Tradisional
Ruang bersaing pedagang pasar tradisional kini juga mulai terbatas. Kalau selama ini pasar tradisional dianggap unggul dalam memberikan harga relatif lebih rendah untuk banyak komoditas, dengan fasilitas berbelanja yang jauh lebih baik. Skala ekonomis pengecer modern yang cukup luas dan akses langsung mereka terhadap produsen dapat menurunkan harga pokok penjualan mereka sehingga mereka mampu menawarkan harga yang lebih rendah. Sebaliknya para pedagang pasar tradisional, mereka umumnya mempunyai skala yang kecil dan menghadapi rantai pemasaran yang cukup panjang untuk membeli barang yang akan dijualnya. Keunggulan biaya rendah pedagang tradisional kini mulai terkikis.

Keunggulan pasar tradisional mungkin juga didapat dari lokasi. Masyarakat akan lebih suka berbelanja ke pasar-pasar yang lokasinya lebih dekat. Akan tetapi pusat-pusat perbelanjaan modern terus berkembang memburu lokasi-lokasi potensial. Dengan semakin marak dan tersebarnya lokasi pusat perbelanjaan modern maka keunggulan lokasi juga akan semakin hilang. Kedekatan lokasi kini tidak lagi dapat dijadikan sumber keunggulan yang berkelanjutan.

Jika diamati, pasar yang sampai saat ini bertahan dan banyak dikunjungi adalah pasar-pasar khusus (specialty Market) seperti Pasar Tanah Abang untuk garmen, Pasar Glodok untuk elektronik. Pasar-pasar khusus ini memiliki citra tertentu di mata konsumen dan mampu menawarkan produk yang diinginkan masyarakat dengan harga yang menarik.

Di pasar tradisional lainnya yang sampai saat ini tetap diminati masyarakat adalah produk kebutuhan sehari-hari, terutama bahan mentah. Untuk komoditas ini tampaknya pasar tradisional masih mampu bersaing dengan memberikan harga yang relatif murah dan produk yang segar. Beberapa pengecer yang menawarkan bahan pangan mentah (supermarket) masih memberikan harga yang lebih tinggi, akan tetapi kualitas, pengemasan dan displai (penyajian ) yang jauh lebih baik.

Dengan demikian segmen supermarket untuk bahan pangan ini umumnya adalah kelompok kelas menengah keatas.

Peran Pemerintah
Pemerintah perlu memikirkan kelangsungan hidup pedagang pasar tradisional karena menyangkut hajat hidup banyak keluarga. Pengembangan sektor perekonomian rakyat ini perlu menjadi perhatian pemerintah sesuai dengan sasaran utama pembangunan dalam PJP II yaitu pemerataan. Pemihakan pemerintah ini tidak perlu diwujudkan dengan cara menghambat pertumbuhan pasar modern ini dapat melibatkan pelaku ekonomi golongan ekonomi lemah. Jadi peran pemerintah yang utama dalam hal ini adalah alokasi peran pelaku ekonomi.

Pemihakan pemerintah kepada pedagang pasar tradisional dapat diwujudkan dengan memberikan kesempatan kepada pedagang pasar tradisional untuk turut memetik keuntungan dari peluang pertumbuhan permintaan masarakat serta membantu mengantisipasi perubahan lingkungan yang akan mengancam eksistensi mereka. Karena sifat pedagang pasar tradisional yang umumnya lemah dalam banyak hal,maka peran pemerintahlah untuk secara aktif memberdayakan pedagang tradisional.

Pemberdayaan pedagang kecil ini dapat dilakukan antara lain dengan membantu memperbaiki akses mereka kepada informasi, permodalan, dan hubungan dengan produsen atau supplier (pemasok). Pedagang pasar tradisional perlu mendapatkan informasi tentang masa depan, ancaman dan peluang usahanya, serta perlunya perubahan sikap dan pengelolaan usahanya sesuai dengan perubahan tuntutan konsumen. Dalam kaitannya dengan produsen pemasok, pedagang pasar tradisioanal perlu dibantu dalam mengefisienkan rantai pemasaran untuk mendapatkan barang dagangannya. Pemerintah dapat berperan sebagai mediator untuk menghubungkan pedagang pasar tradisioanal secara kolektif kepada industri untuk mendapatkan akses barang dagangan yang lebih murah.

Modernisasi pasar juga merupakan langkah untuk meningkatkan perekonomian pedagang kecil. Modernisasi pasar disini dimaksudkan sebagai upaya pengelolaan pasar secara modern sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Modernisasi ini perlu diciptakan untuk menghambat beralihnya tempat belanja masyarakat masih dapat diakomodasikan oleh para pedagang kecil

78 PASAR TRADISIONAL AKAN DIREVITALISASI

Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Negara Koperasi dan UKM menyetujui usulan sebanyak 78 pasar tradisional untuk direvitalisasi pada 2009 dari target 91 titik pasar dan 13 sarana pedagang kaki lima (PKL) di seluruh Indonesia. 

"Yang sudah keluar DIPA sebanyak 78 sisanya sebanyak sembilan titik pasar tradisional belum memenuhi syarat sehingga dialihkan," kata Deputi Menteri Negara Koperasi dan UKM Bidang Pemasaran dan Jaringan Usaha, Ikhwan Asrin, di Jakarta, Kamis. 

Ia mengatakan, melalui dana stimulus perekonomian yang jumlahnya Rp12,2 triliun, Kementerian Negara Koperasi dan UKM (Kemenkop) mendapat alokasi dana Rp100 miliar untuk program revitalisasi pasar tradisional dan PKL. Oleh karena itu, pihaknya segera merevitalisasi 91 titik pasar tradisional di 87 kabupaten. 

Namun, hanya 78 yang dinyatakan memenuhi syarat sedangkan sembilan lainnya terpaksa harus dialihkan ke daerah lain karena tidak memenuhi kriteria yang diminta. Misalnya saja di Buleleng, Bali, yang terpaksa dialihkan ke kabupaten lain karena tidak siap. 

Pasar yang akan direvitalisasi harus memenuhi sejumlah persyaratan di antaranya diusulkan oleh kepala daerah/bupati setempat. 

"Ada persyaratan khusus yang lain yaitu pasar tradisional itu harus mampu menyerap tenaga kerja," katanya. 

Selain itu ada jaminan tidak akan mem-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) terhadap pegawai, berdiri di atas tanah yang bebas sengketa, mampu mempertahankan usaha yang ada, dan bahkan diharapkan mampu meningkatkan daya beli masyarakat. 

"Dan yang juga harus diperhatikan bahwa semua itu harus bisa direalisasikan tahun ini," katanya. 

Jika tidak memenuhi kriteria di atas maka pihaknya terpaksa mengalihkan alokasi ke daerah yang lain. 

Sementara soal 13 sarana Pedagang Kaki Lima (PKL) hingga kini pihaknya juga terus memproses penerapan relokasi dan revitalisasi. "Yang jelas kita akan mencarikan tempat agar mereka tidak diobrak-abrik," katanya. 

Terkait peran pasar tradisional, Ikhwan menekankan pasar tradisional tidak boleh hilang atau kehilangan peran dan fungsi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. 

Oleh karena itu, agar pasar tradisional mampu bersaing dengan ritel modern harus mampu meningkatkan citra dirinya. 

"Di samping akan kami rehab, pada tahun ini juga kami akan mulai mengupayakan agar produk-produk yang dijual di pasar tersebut adalah yang terbaik sehingga harus melalui proses penyortiran yang baik," katanya. 

Pihaknya juga bertekad untuk mendorong pasar-pasar tradisional yang ada dan yang akan dibangun sebaiknya dikelola oleh koperasi para pedagang pasar tersebut.
 

Kembalikan konsumen tradisional (Bisnis Indonesia, Stefanus Subagijo)

Kembalikan konsumen tradisional 
Dikotomi pasar tradisional dan modern harus diakhiri
Wacana dan langkah yang menyuarakan kepentingan pasar-pedagang (ritel) tradisional terus disuarakan berbagai pihak. Bagaimanapun mereka berjasa dan berperan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat sejak lama.

Di tengah pasar yang identik 'becek dan kumuh' itu peran perantara bagi tersedianya kebutuhan masyarakat mempunyai sejarah panjang. Nenek dan ibu kita dahulu pun mempunyai jejak kakinya di tengah pasar basah ini. Upaya membela kepentingan pasar-pedagang tradisional terus disuarakan di tengah globalisasi ritel dengan masuknya pasar modern ke tengah masyarakat.

Suka atau tidak itulah jalan terpaksa pemerintah untuk membuka diri terhadap liberalisasi pasar sebagai tuntutan globalisasi. Repotnya pasar yang terinspirasi dari luar negeri seperti minimarket, supermarket, hipermarket di negeri asalnya juga menggilas pasar tradisional.

Jadi pasar modern merugikan pasar tradisional itu soal bawaan takdir dari sononya. Tumbal tak terelakkan dari perkembangan pasar ritel yang memodern.

Beberapa pihak menekankan bahwa kunci mengembalikan pasar tradisional ialah mengkritisi Perpres 112/2007 yang disfungsi. Ideal di pasal-pasal, berbeda dengan realita di lapangan.

Jauh sebelum itu gesekan pasar tradisional dan pasar modern muncul berseri. Intinya pasar tradisional dan pedagangnya merosot drastis dalam penjualan dan perkembangannya karena disaingi oleh pasar modern beserta pedagangnya yang bermodal besar, berteknologi modern dan berbendera perusahaan mancanegara.

Angka-angka penurunan dan kemerosotan yang menunjukkan hal itu tak bisa dipungkiri. Jalan globalisasi pasar atau liberalisasi ritel yang dijalankan pemerintah memang membawa konsekuensi baru yakni persaingan antara yang modern dan tradisional.

Kekalahan pasar tradisional selama ini karena tidak siap bersaing dengan modernisasi pasar ritel. Pasar tradisional bertahan untuk mempertahankan konsumennya dengan keberadaan yang apa adanya, sedangkan pasar modern berupaya keras menarik konsumen untuk berbelanja di situ dengan promosi yang berorientasi pada nilai tambah dan keuntungan konsumen.

Upaya memanjakan konsumen pasar modern harus dibalas dengan upaya memanjakan konsumen pasar tradisional, ini jika pasar tradisional tak mau kehilangan konsumennya. Menekan regulasi ritel atau pemerintah untuk melindungi pasar tradisional sering tak bergigi. Mengapa?

Oleh karena hal itu sama saja meminta pemerintah berlaku surut terhadap globalisasi pasar dan liberalisasi pasar ritel khususnya. Tidak ada cara lain, pasar tradisional harus memanjakan konsumennya agar tidak lari ke pasar modern atau pasar tradisional berubah secepatnya menjadi pasar modern agar juga mendapat lirikan konsumen.

Hal ini karena efisiensi pasar tradisional dan daya saingnya dengan pasar modern terus melemah. Memang bisa saja melawan takdir, tolak globalisasi pasar dan liberalisasi ritel tetapi membawa konsekuensi penolakan yang lain oleh negara-negara proglobalisasi dan liberalisasi. Ekonomi ritel kita memang sudah terperangkap.

Jalan satu-satunya ialah bagaimana pasar tradisional menarik konsumennya atau sekalian saja pasar tradisional berubah menjadi pasar modern.

Terlepas pasar tradisional mempunyai peran dan jasa yang sangat besar pada masa lalu, ia tidak akan bisa mempertahankan konsumennya yang lari ke pasar modern selama ia kalah bersaing dalam segala-galanya.

Upaya mengembalikan pasar tradisional harus pertama-tama dan yang terpenting ialah mengembalikan konsumen tradisionalnya juga. Persoalannya konsumen mau atau tidak?

Sayang bahwa uang konsumen selalu mencari nilai tukar yang sepadan, pasar yang nyaman, bersih, diskon, lengkap, bisa dengan kartu kredit atau debit dan ada unsur rekreasi, dibandingkan dengan uang dibelanjakan di pasar yang kumuh.

Upaya memenangkan pasar harus berorientasi pada kepentingan konsumen, karena merekalah yang berkuasa atas uang, 'duit-duit gue' mau dikemanakan terserah mereka.

Selama pasar tradisional berorientasi pada kepentingannya sendiri untuk survive dengan menekan pemerintah untuk membuat regulasi yang menguntungkan mereka, perbaikan pasar tradisional akan sulit tercapai karena pemerintah juga terikat oleh regulasi global untuk globalisasi ekonomi dan liberalisasi ritel. Proteksi pasar tradisional akan dibalas proteksi yang berbeda oleh negeri lain.

Dikotomi

Bagi konsumen tidak peduli apakah ia konsumen tradisional atau modern. Hukum ketertarikan konsumen ialah nilai tambah apa jika ia berbelanja di sebuah pasar. Di tengah krisis seperti ini mungkin saja konsumen berubah menjadi tradisional dan berbelanja di pasar tradisional seperti temuan The Nielsen Indonesia, bahwa akibat krisis konsumen kembali ke pasar tradisional. Namun, itu tidak berarti bahwa konsumen fanatik pada satu pasar, bisa saja ia tiba-tiba beralih pada pasar modern jika mendadak ekonomi pulih.

Mestinya pelaku pasar tradisional dan pasar modern mengakhiri dikotomi dan jangan terkecoh lagi oleh pengkutuban tradisional versus modern yang kabur dan tumpang tindih. Baik yang tradisional maupun modern tidak statis dalam sebuah blok yang kaku, tetapi bergerak dinamis.

Tradisional dan modern adalah satu garis panjang histori pasar yang sebaiknya tak dipertentangkan, meski mereka dua kutub yang berbeda tapi ada dalam satu rentangan. Yang tradisional harus menjadi modern dan yang modern kelak juga akan ketinggalan zaman lagi oleh perkembangan berikutnya. Apa definisi tradisional dan modern juga selalu berubah.

Pasar tradisional yang dimodernkan seperti di Bumi Serpong Damai di Tangerang apakah masuk pasar modern atau tradisional?

Begitu juga Fresh Market di Kota Wisata Cibubur apakah masuk kategori tradisional karena berupa los-los penjual atau modern karena diciptakan oleh perumahan mewah.

Buat konsumen kedua 'pasar banci' itu, setengah modern-setengah tradisional, berbelanja sekadar gaya hidup model los seperti pasar zaman dulu tapi juga modern.

Tuntutan pasar tradisional kepada pemerintah mestinya agar pemerintah membuat regulasi yang mendukung dan membantu pasar tradisional berubah menjadi pasar modern dan bukan mempertahankan apalagi mengembalikannya.

Regulasi pemerintah yang mendorong pasar tradisional agar tidak ketinggalan zaman dan tidak ditinggal lari konsumennya dengan membantu pasar tradisional menjadi modern, supermodern, setengah modern atau entah apa pun namanya pokoknya menjadi lebih berorientasi pada kepentingan konsumen dengan satu tolok ukur konsumen mau belanja di situ.

Bukan seperti yang sudah-sudah upaya melindungi pasar tradisional berorientasi pada kepentingan pasar dan pedagang tradisional saja tanpa meningkatkan nilai tambah apa bagi konsumen jika berbelanja di situ.

Bukankah problemnya konsumen yang lari, ya harus ditarik kembali dengan nilai tambah pasar tradisional yang lebih dari pasar modern. Modern atau tradisional dilihat sebagai kesinambungan pasar yang tak terelakkan.

Pasar tradisional boleh dilestarikan karena unik dan sebagai wisata belanja ala masa lalu. Namun, jumlahnya tak banyak. Mayoritas pasar tradisional memang harus dimodernkan. Persaingan lebih fair karena sama-sama modern dan tinggal bagaimana berkompetisi dalam menggaet konsumen.

Pasar Modern VS Pasar Tradisional

Untuk menghidupkan pasar tradisional, pemerintah tengah membuat konsep sabuk koridor pasar yang menggabungkan potensi pasar dengan potensi wisata.

Konsep sabuk koridor pasar ini mencontoh penerapan di luar negeri seperti Tanglin Road-Orchard Road di Singapura, Bras Basah-Marina Bay di Singapura, Fifth Avenue di Amerika, Champs-Elysees di Perancis, Via Vanetto di Italia, Ginza di Jepang, Nanjing Road Shanghai. Di belakang Champs-Elysees banyak pedagang tradisional yang menjajakan barang dagangannya.

Seperti halnya Bus TransJakarta, pemerintah sudah menyediakan 2 koridor pengembangan pasar tradisional di Jakarta.

Demikan disampaikan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu saat membuka rakernas Asosiasi Pengelola Pasar Indonesia (Asparindo) di Hotel Aryaduta, Jalan Prapatan, Jakarta, Selasa (17/6/2008).

Koridor pasar dipilih sengaja yang berdekatan terlebih dulu dengan jarak tidak lebih dari 2 km.

Misalnya koridor 1 yang menghubungkan Pasar Mayestik-Taman Puring-Barito dan Blok M. Interkoneksi yang mengkombinasikan pasar tradisional (kebutuhan dasar) dengan keunikan dari pasar barang loakan, pasar burung, dan beberapa taman. Jarak jalan di koridor ini sepanjang 1,54 km.

Koridor kedua yakni Pasar Blok A-Menara Air-Dharmawangsa Square dan Panglima Polim. Interkoneksi ini akan mengkombinasikan pasar tradisional dengan bangunan historis, toko modern dan toko peralatan rumah tangga di jalan Panglima Polim. Jarak jalannya 1,02 km.

"Salah satu cara untuk menghidupkan kembali pasar tradisional adalah dengan membuat koridor pasar dengan saling interkoneksi antara satu pasar dengan pasar yang lain, sehingga memiliki keunikan yang saling melengkapi seperti pasar seni pasar ikan, dan pasar handicraft," ujarnya.

Mendag yakin interkoneksi antara pasar ini bisa menarik wisatawan domestik maupun mancanegara.

Sementara it Direktur Bina Pasar dan Distribusi Depdag Gunaryo menyatakan konsep ini sudah dibuat cukup lama dan sudah disosialisasikan ke Gubenur DKI Jakarta, namun Pemprov DKI belum memberikan respons yang cukup. 

Jumat, 08 Mei 2009

Depdag Terima 600 Proposal Pasar Tradisional

JAKARTA (Bisnis.com): Depdag menerima 600 proposal dari 300 kabupaten dan kota untuk mendapatkan dana renovasi pasar tradisional.

Sekretaris Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Depdag Gunaryo mengatakan proposal yang disetujui sebelumnya juga akan dinilai oleh Dinas Pekerjaan Umum setempat sebelum memulai renovasi secara total maupun hanya rehabilitasi atau penambahan luas.

"Dana tentu akan disesuaikan dengan masing masing kebutuhan, perkiraanya dimulai dari 3 miliar untuk masing-masing pasar," ujarnya saat Rapat Pembahasan Carrefour hari ini.

Depdag mendapatkan stimulus fiskal untuk perbaikan pasar tradisional Rp235 miliar dan belum mulai cair, karena masih dalam pembahasan Depkeu.

Menurut Gunaryo, Depdag telah menerima 600 proposal yang mengindikasikan banyak pasar yang harus direnovasi. "Permintaanya bervariasi mulai renovasi total, hingga sekadar memperbaiki kerusakan struktur bangunan," ujarnya. 

Depdag, kata dia, akan memprioritaskan pada pasar pasar yang secara fisik masih perlu dibangun. Menurut dia, dana renovasi tidak hanya berasal dari stimulus fiskal tersebut, tetapi juga terdapat dana alokasi khusus untuk pasar.

Gunaryo mengharapkan pemerintah daerah berkomitmen untuk memperbaiki pasar daerah pada 2010 dengan menambah anggaran. (tw)