JAKARTA. Kisruh soal pengaturan lokasi pasar tradisional dan pasar modern mungkin akan segera terurai. Forum Komunikasi Ritel kini tengah menggodok petunjuk pelaksanaan (juklak) Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) RI No 53/M-DAG/ PER/12/2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Targetnya, pedoman pelaksanaan beleid yang sering disebut Permendag 53 itu bakal keluar akhir Juli ini.
Juklak itu nantinya akan menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah untuk membuat aturan lokasi atau zonasi pasar di daerah mereka masing-masing. Juklak ini juga bisa menjadi pedoman penyelesaian perselisihan lokasi pasar modern yang ada saat ini.
Gunaryo, Sekretaris Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Depdag bilang, jika aturan Pemda telah selesai, nantinya, seluruh pihak harus melaksanakan aturan zonasi. Memang, ada dispensasi bagi gerai ritel modern yang memang sejak lama sudah ada di dekat pasar tradisional. "Dispensasi bisa diberikan pada peritel modern yang terkena aturan itu. Tapi, setelah masa izin penempatan bangunannya berakhir, mereka harus pindah," tandasnya.
Namun, juklak itu tidak akan otomatis menyelamatkan pasar-pasar tradisional yang ada di tanah air. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Ngadiran mengingatkan, agar bisa bersaing dengan gerai ritel modern, para pengelola pasar tradisional juga terus berbenah. "Dari 13.450 pasar tradisional yang ada di Indonesia, belum ada 10%-nya yang menerapkan manajemen secara profesional. Dengan kondisi ini, jangan harap bisa bersaing dengan ritel modern," aku Ngadiran.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Stefanus Ridwan menambahkan, penataan menjadi kunci utama agar pasar tradisional bisa bertahan. "Kalau mau dengan Rp 8 juta per meter persegi, sudah bisa kok dibangun pasar yang bagus," tandasnya.
Persoalan Trading term
Namun, selain zonasi pasar modern dan tradisional, masih ada masalah lain yang membelit industri ritel dalam negeri. Salah satunya soal perjanjian perdagangan (trading term) antara peritel modern dan para pemasoknya yang juga masuk dalam Permendag 53 tersebut. Catatan saja, trading term itu mencakup potongan harga khusus, potongan harga tetap, dan listing fee.
Selama ini, peritel modern banyak menuai gugatan dari pemasok karena memungut biaya trading term yang besar. Salah satu pihak yang banyak digugat terkait trading term ini adalah Carrefour.
"Misalnya, listing fee besar sekali sehingga tak jarang pemasok bangkrut karena persoalan listing fee ini," kata Ketua Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Modern Indonesia (AP3MI) Susanto. Nah, Permendag 53 juga mengatur soal trading term ini.
Cuma, hingga kini, aturan trading term itu masih sering menjadi kontroversi. Direktur Urusan Korporat PT Carrefour Indonesia Irawan D. Kadarman bilang, masalah trading term merupakan kesepakatan business to business atau antar pebisnis. "Di situ kan memang tertulis, kalau ada inflasi atau apa, peraturan bisa disesuaikan lagi, tinggal asosiasi memasukkan kebijakan ke Departemen Perdagangan (Depdag)," kata Irawan.
Lagipula, menurut Irawan, kebijakan tiap peritel berbeda-beda, demikian pula sifat usaha pemasok. "Sehingga tidak bisa disamaratakan dalam satu Permendag," kilahnya. Dengan demikian, masih ada celah negosiasi antara peritel modern dengan pemasoknya mengenai kesepakatan harga kontrak yang berlaku.
Meski begitu, Irawan mendukung keberadaan Permendag 53. "Kita harapkan, kue pasar industri ritel akan terus berkembang, baik untuk pasar ritel tradisional maupun modern," ujarnya.
Sementara, Susanto berharap, pemerintah tetap menegakkan aturan yang ada di dalam Permedag itu. Di saat krisis saat ini, Susanto juga berharap pemasok dan pengelola ritel modern bisa saling bekerjasama dan mendukung. "Jangan ada lagi saling ancam lagi, kalau dulu sebelum ada regulasi boleh," ujarnya.
Susanto mengambil contoh di Perancis. Di negara tersebut, trading term baru saja diturunkan dari 20% menjadi 15%. "Langkah ini tepat, karena besarnya trading term bisa mempengaruhi harga barang. Dalam hal ini konsumen kan yang dirugikan karena harus membeli barang jauh lebih mahal," katanya.
Adapun Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Rudi Sumampouw bilang, meski sempat ada friksi antara pemain di industri ritel, sekarang ini permasalahan di antara mereka sudah cenderung mereda. "Khususnya untuk aturan trading term, baik pemasok maupun peritel modern sudah menyesuaikan dengan aturan yang ada," tandasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar