JAKARTA. Peritel modern bersikukuh meminta aturan zonasi tidak diterapkan secara kaku. Aturan zonasi ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 112 tahun 2007 tentang pasar tradisional dan pusat perbelanjaan modern. Aturan tersebut diperjelas oleh masing-masing peraturan daerah.
Di Jakarta misalnya, ada Peraturan Daerah (Perda) No. 2 tahun 2002 tentang pengaturan jarak pasar modern dan tradisional. Dalam peraturan itu, jarak pasar modern minimal 2,5 kilometer (km) dari pasar tradisional.
Pengusaha ritel menilai, tanpa aturan zonasi pun, pasar tradisional dan ritel modern tetap bisa tumbuh dan berkembang. "Di Singapura dan Bangkok hal itu tetap terjadi. Ritel modern dan pasar tradisional tetap tumbuh. Meski terletak berdekatan, pasar dan toko tradisional tetap tumbuh," ujar Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Benjamin J Mailool, di Jakarta, Kamis (25/6).
Ia bilang, pasar modern dan ritel seharusnya menciptakan sinergi bukannya konfrontasi. Sebab kehadiran salah satu pihak tidak menyebabkan matinya unit usaha yang lain.
Menurutnya, zonasi ini butuh pembahasan secara serius dan tidak bisa diterapkan secara kaku. Bahkan, Benjamin menambahkan, infrastruktur dan kondisi daerah yang berbeda-beda mesti dijadikan salah satu rujukan jika ingin menerapkan aturan zonasi itu. "Penerapan zonasi di Jakarta pastilah berbeda dengan zonasi di Papua," katanya.
Menurutnya, pasar tradisional tetap bisa tumbuh karena memiliki karakteristik yang unik. "Di sana ada proses tawar menawar harga. Apalagi produk mereka lebih murah dan segar,” papar Benjamin.
Benjamin menuturkan, ritel modern bukanlah penyebab ambruknya pasar tradisional. "Harus dilihat juga bagaimana pembinaan pasar tradisional tersebut," tegasnya.
1 komentar:
Tepuuuuuuuuuuuuuuuu!!!
Posting Komentar