Sebuah bank besar nasional tahun ini membidik pasar tradisional melalui pendirian 50 gerai di kompleks pasar tradisional Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Gerai itu akan memberikan kredit Rp 2 juta hingga Rp 100 juta untuk pedagang. Pada saat yang bersamaan, Forum Masyarakat Pedagang Semarang mendeklarasikan gerakan peduli pasar tradisional. Tuntutan mereka agar pasar tradisional yang terdesak pasar modern itu dilindungi. (Kompas, 24/2)
Dua peristiwa itu tampaknya berkesinambungan. Di permukaan, tuntutan perlindungan dari Forum Masyarakat Pedagang Semarang itu didukung kebijakan lembaga keuangan penyaluran modal dengan bunga ringan. Di balik itu muncul pertanyaan: apakah kebijakan itu benar-benar untuk perlindungan terhadap eksistensi pedagang dan pasar tradisional? Apa yang sesungguhnya terjadi pada pasar tradisional dan apa yang dibutuhkan?
Jawaban dari perspektif antropologi, konsep pemberdayaan pasar tradisional selama ini hanya membandingkan dengan serbuan pasar modern, tetapi tidak pernah diselami lebih dalam teknik-teknik bertahan para pedagang. Dalam penelitian partisipatif ilmu sosial terungkap, selama ini, pasar tradisional hidup dan bertahan dengan sistem yang sangat berbeda dengan pasar modern. Karena itu, tulisan ini akan membuktikan, sumber daya lokal dalam pasar tradisional bisa dimanfaatkan sebagai daya saing untuk menunjukkan karakter perekonomian kita yang kuat.
Dua sistem
Asumsi umum, secara etimologis, pasar dikatakan tradisional karena pengelolaan dan pemasarannya menggunakan prinsip-prinsip lama. Mereka memasarkan produk berdasarkan ingatan kolektif. Sistem transaksi mengandalkan kemampuan pribadi. Teknik pengelolaannya memanfaatkan pengetahuan intuitif seorang pedagang sehingga tata kelola keuangan didasarkan apa yang ada pada hari itu. Sebaliknya, dikatakan modern karena pengelolaannya dan pemasarannya menggunakan sentuhan teknologi. Mereka memasarkan dengan media massa, dikelola dengan teknologi informasi, dan dilestarikan dengan sistem penghitungan ilmu pengetahuan positif. Pasar modern menghilangkan sisi manusiawi dalam berdagang. Komunikasi diminimalkan. Sistem interaksi interpersonal direduksi menjadi bentuk pembuatan harga mati pada produk. Semangatnya pragmatis, impersonal, dan berorientasi pada nominal material.
Perbandingan pertumbuhan pasar modern dengan pasar tradisional memang kontras. Hal itu menunjukkan jiwa masyarakat yang berubah. Berdasarkan data statistik Jawa Tengah dalam Angka 2009, jumlah pasar tradisional di Jateng pada 2004 adalah 1.496, sedangkan pasar modern 232. Bila dibandingkan dengan data pada 2008, jumlah pasar tradisional 1.443 dan pasar modern 399. Data tersebut menunjukkan, pasar tradisional mengalami penyusutan sementara pasar modern berlipat perkembangannya. Pada 2004, komposisinya 86,5 persen pasar tradisional, sedangkan 13,5 persen pasar modern. Pada 2008, sebesar 78,3 persen pasar tradisional dan 21,7 pasar modern. Jadi, penyusutan pasar tradisional sebesar 8,2 persen.
Angka itu merupakan penghitungan di atas kertas yang mengakses pasar-pasar besar dan terdaftar. Sementara itu, pasar swalayan kecil yang merambah pinggiran kota dan perkampungan belum dihitung. Contohnya adalah sistem pengelolaan franchise (waralaba) yang sangat ekspansif dan cepat. Waralaba ritel itu ditopang sistem jaringan yang lebih besar ketimbang jangkauan tiap unit itu sendiri.
Sudah diketahui umum, untuk menjalankan waralaba, dibutuhkan dana Rp 300 juta-Rp 400 juta dan dalam dua tahun akan balik modal. Para pemilik modal ini tentulah tidak membutuhkan kucuran dana dari bank-bank yang bergerak di pasar tradisional. Mereka bergerak dalam area tak terbatas dan siap membunuh para pedagang tradisional bermodal lemah.
Pola bertahan
Pada saat yang bersamaan, kehadiran perbankan modern dalam jaringan pasar tradisional juga akan mengubah pola-pola bertahan yang selama ini sudah terbangun. Penelitian terhadap usaha kecil memperlihatkan, kehidupan di tengah-tengah pasar tradisional sangat berbeda. Di samping memanfaatkan bahasa, gestur, serta nilai-nilai lokal, para pelaku disangga sebentuk organisasi keuangan yang beroperasi secara nonformal.
Ada istilah "bank titil" karena mereka "nitili" (Jawa: memakan sedikit demi sedikit) uang para pedagang tradisional. Mereka mengambil angsuran tiap hari dengan jumlah uang dari Rp 1.000 hingga Rp 10.000. Bank plecit adalah bank yang mengambil keuntungan lebih dulu sebelum debitur menerima uang (Slamet Mulyono, 2008: 375). Ada juga mendring, sistem kredit barang dengan angsuran harian atau mingguan. Ada pula rentenir; perorangan penyalur modal besar dengan bunga tinggi.
Semua itu bukanlah lembaga keuangan resmi yang terdaftar di departemen perdagangan pemerintah, tetapi eksistensi mereka sangat nyata dalam kehidupan sehari-hari. Mereka membentuk jaringan saling ketergantungan sehingga masing-masing bisa bertahan hingga kini. Karena itu, tidak selamanya pasar tradisional bisa dikalahkan pasar modern. Contohnya, Pasar Johar Semarang yang tidak dapat dikalahkan oleh sebuah pasar swalayan terkenal. Pada 1990-an dipercayai bahwa pasar modern yang berdiri persis di seberang Pasar Johar itu akan mematikan pedagang-pedagang tradisional. Sebaliknya yang terjadi, pada 2000-an, pasar modern itu tutup karena hanya dijadikan tempat "mendinginkan" badan setelah pengunjung berpanas-panas di pasar.
Belajar dari situ, jaringan yang menopang sistem perekonomian pasar tradisional itu hendak diambil alih oleh lembaga keuangan formal. Pengambilalihan itu akan meliputi mekanisme ketergantungan kreditur-debitur, pola-pola pemerasan, serta bentuk penekanan lain yang berciri impersonal. Bila ekspansi lembaga keuangan formal itu terlaksana, tekanan terhadap pasar tradisional tidak saja oleh pasar modern, tetapi juga lembaga keuangan modern. Di sisi yang lain, ketika pelaku pasar tradisional kian terjepit dari segala sisi, pemerintah yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan usaha rakyatnya terkesan hanya berpangku tangan. SAIFUR ROHMAN Doktor Ilmu Filsafat, Mengajar di Universitas Semaran
Mengenai Saya
- Irwan Khalis
- Jakarta, Indonesia
- Pemerhati dan pelaku pembangunan ulang Pasar tradisional. Ya, itulah saya, yang 5 tahun terakhir konsen untuk mendedikasikan aktivitas bisnis dan Grup usaha dalam rangka melayani pedagang tradisional untuk mendapatkan haknya kembali menikmati Pasar Tradisional yang bersih, nyaman dan aman, layaknya Pasar Modern lainnya. Mereka bisa, seharusnya PASAR TRADISIONAL juga BISA!!!!!!! ITQONI GROUP sudah membuktikannya DUA KALI!!!!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar