Pertarungan sengit antara pedagang tradisional dengan peritel raksasa merupakan fenomena umum era globalisasi. Jika Pemerintah tak hati-hati, dengan membina keduanya supaya sinergis, Perpres Pasar Modern justru akan membuat semua pedagang tradisional mati secara sistematis.
Setelah tertunda 2,5 tahun, Peraturan Presiden (Perpres) No 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, serta Toko Modern (biasa disebut Perpres Pasar Modern), akhirnya ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 Desember 2007 lalu.Enam pokok masalah diatur dalam Perpres yaitu definisi, zonasi, kemitraan, perizinan, syarat perdagangan (trading term), kelembagaan pengawas, dan sanksi. Soal zonasi atau tata letak pasar tradisional dan pasar modern (hypermart), menurut Perpres, disusun oleh Pemerintah Daerah (Pemda). Ini membuat pemerintah pusat terkesan ingin “cuci tangan”, mengingat tata letak justru merupakan persoalan krusial sebab tak pernah konsisten dipatuhi, yang lalu membenturkan keduanya. Pendirian Carrefour di kawasan CBD Ciledug, Kota Tangerang, Banten, misalnya. Awalnya Carrefour Ciledug ditolak keras oleh semua pedagang tradisional di sekelilingnya, tetapi pada akhirnya bisa beroperasi dengan mulus persis menjelang Natal 2007.
Pengalihan kewenangan mengeluarkan Izin Usaha Pasar Modern (IUPM) ke Pemda, memungkinkan pasar tradisional selalu dikorbankan dengan berbagai alasan. Indikasinya, sebagian besar pasar modern tidak memiliki IUPM dari pemerintah pusat. “Untuk masalah zonasi, Pemda diberi waktu tiga tahun untuk menyusun rencana umum tata ruang wilayah (RUTRW) yang mengacu kepada Undang-Undang Tata Ruang,” kata Ardiansyah Parman, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Depdag.
Akan Mati Semua
Penandatanganan Perpres berlangsung setelah PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk melepas bisnis ritelnya, dengan menjual seluruh kepemilikan sahamnya di PT Alfa Retailindo Tbk pada 5 Oktober 2006, dan di PT Sumber Alfaria Trijaya 15 Desember 2006. Ribuan outlet Alfamart dan Alfamidi tersebar di kawasan pemukiman warga, belum termasuk Alfa Rabat sekelas supermarket sebanyak 29 buah.
Setelah itu muncul kabar raksasa ritel asal Perancis PT Carrefour Indonesia sepakat untuk membeli 75 persen saham Alfa Ratailindo, dengan menyasar supermarketnya. Nota kesepahaman pembelian saham ditandatangani di Singapura 17 Desember 2007, dilanjutkan negosiasi pembelian saham pada 6 Januari 2008, menjadikan Carrefour berpotensi memonopoli usaha ritel sebab tampil sebagai market leader dan price leader.
Apabila pembelian saham Alfa benar-benar terjadi, maka, langkah perubahan Alfa Rabat menjadi Carrefour akan sama persis mengikuti jejak perubahan Hero menjadi Giant, atau supermarket Matahari menjadi Hypermart.
Masih terlalu dini, memang, untuk menilai ada keterkaitan antara berbagai aksi korporasi perusahaan terbuka di atas dengan keluarnya Perpres Pasar Modern. Tetapi bersamaan dengan Perpres pasar Modern dikeluarkan pula Perpres No 111 tentang Perubahan Atas Perpres No 77 Tahun 2007 mengenai daftar bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal, atau tentang Daftar Negatif Investasi (DNI), yang memberikan penegasan perihal penanaman modal asing di sektor ritel. Sebagai misal, definisi supermarket, minimarket, dan departemen store skala kecil dicantumkan dalam kelompok usaha ritel dengan syarat 100 persen modal dalam negeri. Investor asing ditentukan hanya boleh masuk dalam bisnis supermarket ukuran besar dengan luasan lantai penjualan lebih dari 1.200 meter persegi (m2), dan departemen store besar yang berukuran lebih dari 2.00 m2.
Dari sisi pemerintah, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu berharap Perpres dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan pasar tradisional, sekaligus menciptakan iklim usaha yang lebih baik untuk bisnis ritel. “Perpres ini intinya mengatur masalah zonasi, bagaimana perlindungan pasar tradisional dan ekspansi. Juga, bagaimana supaya pengaturan lokasi pasar tradisional dan ritel modern akan bisa lebih bagus,” kata Mari.
Ketika memberikan penjelasan kepada wartawan di Kantor Pusat Bulog di Jakarta Jumat (28/12), Mari mengatakan, dengan pemberlakuan Perpres persoalan rebutan pelanggan antara ritel tradisional dan modern bisa diminimalisasi.
Mari percaya, perlindungan pasar tradisional bisa dilakukan karena aturan pembangunan pasar harus mengacu pada tata ruang dan wilayah yang sudah dimiliki Pemda. Termasuk pengucuran kredit usaha rakyat kepada pedagang tradisional. “Dengan keluarnya Perpres ini maka akan memperlancar program pemberdayaan untuk pedagang seperti pengucuran kredit mikro dan sebagainya,” kata Mari. Ia mengingatkan, perbaikan kinerja ritel tradisional perlu ditingkatkan. Salah satunya dengan memperbaiki bangunan pasar tradisional, serta pemberdayaan pedagang kecil dan peritel tradisional melalui berbagai program.
Pemberlakuan aturan baku pendirian pasar tradisional dan pasar modern akan membuat persaingan keduanya semakin sengit di masa-masa mendatang. Data Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) menyebutkan, hypermarket telah menyebabkan gulung tikarnya pasar tradisional dan kios pedagang kecil-menengah. Data yang dikumpulkan APPSI pada tahun 2005, saat hypermarket belum begitu menggejala seperti sekarang, memaparkan, di Jakarta terdapat delapan pasar tradisional dan 400 kios yang tutup setiap tahun karena kalah bersaing dengan hypermarket.
Putri Kuswisnu Wardani, Juru Bicara 9 Aliansi Multi Industri mengatakan, para pedagang di pasar tradisional tidak akan pernah mungkin bisa bersaing dengan peritel besar pemilik hipermarket atau supermarket. Pasar tradisional juga tidak bisa melakukan minus margin untuk menarik konsumen, karena tidak ingin menekan pemasok dan produsen.
“Jadi sudah dapat dipastikan pasar tradisional akan mati semua dan tinggal tunggu waktu saja. Arahnya sudah kelihatan. Yang bisa menolong pasar tradisional dan industri nasional (yang barang-barangnya dijual di hipermarket) dari kehancuran adalah niat dan keberpihakan dari pemerintah,” ucap Putri. HT (BI 54)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar