Mengenai Saya

Foto saya
Jakarta, Indonesia
Pemerhati dan pelaku pembangunan ulang Pasar tradisional. Ya, itulah saya, yang 5 tahun terakhir konsen untuk mendedikasikan aktivitas bisnis dan Grup usaha dalam rangka melayani pedagang tradisional untuk mendapatkan haknya kembali menikmati Pasar Tradisional yang bersih, nyaman dan aman, layaknya Pasar Modern lainnya. Mereka bisa, seharusnya PASAR TRADISIONAL juga BISA!!!!!!! ITQONI GROUP sudah membuktikannya DUA KALI!!!!

Jumat, 04 Maret 2011

Editorial: Protecting the weak

Retail businesses in the capital have grown beyond expectation as evidenced by the mushrooming mini-markets and their adverse impacts on vendors in traditional markets and small shops operating in the neighborhoods.
The number of mini-markets has ironically jumped to 1,115 now, more than double the November 2006 number of 525 when then Governor Sutiyoso issued an instruction on a moratorium for mini-market development in Jakarta.
The data, recently revealed by the city secretary assistant for economic affairs Hasan Basri Saleh, is evidence of the ineffectiveness of the gubernatorial instruction, which is aimed at protecting small-scale traders. More than that, it demonstrates blatant violations of the regulation, which occurred on purpose or at least by omission.
For more than four years small and micro-business players in the capital have been deprived of the protection they legitimately deserve merely because of the government’s failure to enforce the regulation.
Governor Fauzi Bowo, who was Sutiyoso’s deputy when the instruction was enacted, has reacted angrily to the speedy growth of the “illegal” mini-markets. He also threatened to close down the mini-markets, but the tough measure could trigger protracted legal disputes as investors of the mini-markets may have obtained their business licenses in accordance with the rules.
Fauzi’s response is too late and should beg the question as to where he had been when his subordinates were processing and validating the license for the mini-markets over the last four years.
As the then deputy governor and the current governor, Fauzi should be aware of the regulation and has no excuse for failing to enforce it.
It is simply too naïve to assume the city administration has overlooked the fast growing mini-markets that dot the roadsides and neighborhoods across the capital. The city government is ubiquitous as its span of command reaches the sub-district level, so there is no way that it had failed to monitor the development of minimarkets.
To make matters worse, the establishment of the new mini-markets after the enactment of the 2006 gubernatorial instruction turns out to go against City Bylaw No. 2/2002 on city markets.
According to the bylaw, mini-markets measuring between 100 to 200 square meters could only be located at least 500 meters away from traditional markets and operate from between 9 a.m. and 10 p.m. The ordinance, however, has been widely violated as Jakartans can easily find minimarkets operating near traditional markets open 24 hours a day.
We believe that small and micro-traders deserve protection, as happens even in the most liberal economies, mostly because they are weak, both financially and managerially. Many of them run such businesses as a last resort to survive after losing jobs following the impacts of the global financial crises in the late 1990s and 2008.
Therefore, it is surely unfair for small and micro-entrepreneurs to have to compete with retailers who are supported by strong financial resources and better management. It is high time for Governor Fauzi to show his empathy for the weak. History has shown the small and micro-enterprises survived the economic turbulence and helped the country’s economy regain its footing.
Moves are underway for amendment of the existing regulation on mini-markets, as stated by City Secretary Padjar Pandjaitan, which if materialized would pave the way for adjustments to legalize the “illegal” mini-markets at the expense of small traders.

Rabu, 02 Maret 2011

NEOLIB : Minimarket Kuat, Warung Rakyat Sekarat

Minimarket benar-benar menggurita ke setiap sudut kota Jakarta dan sekitarnya. Permukiman padat penduduk menjadi target lokasi ideal.

Pemerintah pun tak berbuat apa-apa, kecuali justru menaati prinsip persaingan bebas dengan mengumbar usaha modal besar pelan, tetapi pasti, membuat "sekarat" warung-warung rakyat yang jelas beda kelas.

Tak heran bila terlihat dua hingga tiga minimarket dari waralaba berbeda berada dalam jarak kurang dari 50 meter, seperti yang terlihat di Jalan Cipete dan Tegal Parang, Jakarta Selatan.

Wilayah Tegal Parang, Pancoran Barat, Jakarta Selatan, adalah salah satu contoh permukiman padat. Menurut Achmad Yani, Sekretaris Kelurahan Tegal Parang, saat ditemui di kantornya, Rabu (2/3/2011), dengan jumlah penduduk yang terbilang padat, 35.447 jiwa per Desember 2010, Tegal Parang menjadi lokasi strategis sekaligus ajang persaingan bisnis minimarket.

"Ada 7 minimarket di kelurahan kami. Kalau dipukul rata, berarti ada 1 minimarket untuk tiap 5.000 penduduk," ujar Achmad Yani. Ia melanjutkan, jumlah tersebut telah jauh melampaui rencana peruntukan izin, yaitu 2 minimarket per kelurahan.

Kelurahan Bangka, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, memiliki rasio yang lebih tinggi. Dengan jumlah penduduk 21.034 jiwa per Februari 2011, di kelurahan ini terdapat 6 minimarket dan 2 supermarket.

"Dua di antaranya satu paket dengan pom bensin," kata Dedih Suhanda, Lurah Bangka, di ruang kerjanya. Itu berarti, rasio antara minimarket dan jumlah penduduk mencapai 1 : 3.500-an.

Ia juga secara terbuka menyajikan rincian data terbaru hasil tinjauan mereka, di antaranya terdapat juga data 5 minimarket tak berizin. "Inilah yang akan kami tunjukkan kepada atasan kami," kata Dedih.

Ia mengakui, jumlah minimarket saat ini sudah berlebihan. Tidak hanya itu, menurutnya, letak minimarket yang berdekatan, terutama di ruas jalan yang sempit dan permukiman padat, menjadi salah satu penyebab terganggunya arus lalu lintas.

"Kemacetan yang sekarang terjadi di jalan-jalan kecil hingga gang salah satu penyebabnya, ya, minimarket-minimarket itu," ujarnya.

Menurut dia, banyak minimarket di wilayah padat penduduk tidak memiliki areal parkir yang memadai. Jalan umum yang sempit pun dipakai sebagai tempat parkir. Pemodal besar memang cenderung melahap segala. Usaha eceran yang sejatinya bisa jadi arena wirausaha rakyat kecil pun direnggut.

Selasa, 01 Maret 2011

jakarta Timur ; 46 Minimarket Tolak Tunjukkan Surat Izin

Upaya Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Timur mendata dan memeriksa surat izin minimarket di wilayahnya masih menemui sejumlah kendala. Pasalnya, tidak semua pengelola minimarket bersikap kooperatif dan bersedia menunjukkan surat perizinan yang dimiliki.

Di Kecamatan Jatinegara, misalnya, dari 46 minimarket di wilayah itu, semuanya keberatan menunjukkan surat izin. Padahal, pendataan dan pemeriksaan minimarket ini merupakan instruksi langsung dari Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo.

Kepala Seksi Perekonomian Kecamatan Jatinegara Febrimoonjaya mengatakan, pengelola yang tidak bersedia menunjukkan surat-surat perizinan beralasan hanya sebagai pelaksana atau pekerja sehingga tidak mengetahui soal perizinan. Hal ini karena semua surat tersebut di kantor pusat minimarket masing-masing.

"Semua pengelola minimarket tidak ada yang kooperatif. Ketika diminta menunjukkan surat izin, mereka malah menyuruh kami untuk menghubungi kantor pusat atau kantor legal mereka," kata Febrimoonjaya, Selasa (1/3/2011).

Febri mengaku memberikan peringatan kepada pengelola minimarket tersebut dan meminta segera mengirimkan fotokopi atau salinan perizinan usaha mereka paling lambat pada Senin (28/2/2011). Namun, tak satu pun pengelola mengirim fotokopi perizinannya.

Camat Jatinegara Muchtar mengungkapkan, minimarket yang menolak diperiksa izinnya antara lain Alfamart, Indomart, Hypermart, dan Hero.

"Tugas kami di lapangan hanya mendata dan memeriksa perizinan semua minimarket. Mengenai sanksi, itu wewenang Wali Kota dan Gubernur," ujarnya.