Mengenai Saya

Foto saya
Jakarta, Indonesia
Pemerhati dan pelaku pembangunan ulang Pasar tradisional. Ya, itulah saya, yang 5 tahun terakhir konsen untuk mendedikasikan aktivitas bisnis dan Grup usaha dalam rangka melayani pedagang tradisional untuk mendapatkan haknya kembali menikmati Pasar Tradisional yang bersih, nyaman dan aman, layaknya Pasar Modern lainnya. Mereka bisa, seharusnya PASAR TRADISIONAL juga BISA!!!!!!! ITQONI GROUP sudah membuktikannya DUA KALI!!!!

Minggu, 27 Februari 2011

Pedagang Pasar Keluhkan Minimarket

BATU – Menjamurnya Minimarket di Kota Wisata Batu, kembali mengundang keluhan. Kali ini dua toko modern yang berdekatan dengan pasar tradisional alias Pasar Besar Batu Jalan Dewi Sartika, disoroti lantaran dianggap bisa menjadi penyebab sepinya pembeli di pasar.
Dua minimarket itu, hanya berjarak sekitar 50 meter dari pasar. Menurut Dasmin, 58 tahun salah seorang pedagang Pasar Batu, pendapatannya menurun dratis setelah minimarket bermunculan di sepanjang Jalan Dewi Sartika.
Pedagang pasa sendiri, memang menyadari tak mampu bersaing dengan minimarket karena selain areal parkir memadai, tempat berbelanja pun dilengkapi AC (Air Conditioner), sehingga menjadikan pembeli merasa nyaman.
Dasmin mengatakan, jika pemerintah tidak turun tangan, lambat laun usaha pedagang di pasar tradisional sebagai sentra ekonomi kerakyaatan, terancam gulung tikar digilas oleh tempat usaha yang modalnya dimiliki oleh konglomerat itu.
“ Saya sendiri Cuma pedagan kecil, dengan modal seadanya saya buka usaha kebutuhan rumah tangga. Jika minimarket dibiarkan berdekatan dengan pasar tradisional, tentu konsumen pasar beralih ke toko moderend itu,’’keluhnya.
Seorang pemilik toko kelontong, juga mengeluhkan sama.’’ Apalagi kondisi Pasar Batu yang kumuh ini, tentu membuat pembeli pilih ke minimarket itu. Tapi, apakah bapak bapak pejabat tetap tutup mata dengan membiarkan persaingan tidak sehat ini,’’ungkap wanita berjilbab yang menunggui tokonya di pasar unit I. (mg-2/lyo)

Sabtu, 26 Februari 2011

Pasar Sayur Dukung Pendataan

ATU – Kalau ada sebagian pedagang Pasar Besar Batu, yang Jumat lalu memprotes pendataan ulang, pedagang di unit sayur justru bersikap sebaliknya. Mereka malah pro aktif menyerahkan semua data kepada UPTD Pasar, untuk memperbaharui SK tempat usahanya.
Bahkan, pengurus pedagang di unit pasar sayur pun sudah melakukan pendataan lebih dulu mendahului UPTD. Dari data yang ada di pengurus, jumlah pedagang di unit tersebut mencapai 325 pedagang.
“ Kami sudah menyerahkan berkas-berkas, untuk mengajukan pembaharuan SK kepada UPTD. Karena SK yang kami pegang sekarang ini, sudah habis masa berlakunya beberapa tahun lalu,” terang Ketua Pengurus Pedagang Unit Sayur Pasar Batu, Hari Wahyono kepada Malang Post, kemarin.
Seperti diberitakan, sebagian pedagang Pasar Besar Batu Jumat lalu bergolak. Mereka memprotes pemasangan spanduk dan pamphlet, berisi himbauan untuk dilakukan pendataan ulang. Mereka mencurigai, pendataan itu berkaitan dengan rencana pembangunan pasar menjadi pasar semi modern.
Meski ada pedagang yang melakukan protes, pedagang di unit sayur tetap berharap ada kepastian hukum terhadap keberadaan tempat usaha mereka di Pasar Batu dengan terbitnya pembaharuan SK. Karena SK yang dimiliki saat ini, dikeluarkan sekitar tahun 1990-an dan sudah habis masa berlakunya. Saat itu, SK para pedagang diterbitkan oleh Pemkab Malang.
“ Kalau kami memiliki SK yang baru dari wali kota, pasti memperkuat status hukum keberadaan tempat usaha kami di Pasar Batu. Kami belum mengetahui hasil pendataan ulang yang dilakukan UPTD, karena UPTD belum melakukannya,” tambahnya.
Sebelumnya kepada Malang Post, Ir Supriyanto Kepala UPTD Pasar Batu mengatakan, bahwa pendataan bakal dimulai 1 Maret mendatang. Tujuannya, untuk mengetahui jumlah riel mereka. Sehingga jika jadi pasar tersebut dibangun, tidak menimbulkan permasalahan baru.
Sementara anggota DPRD Kota Batu, mengingatkan agar pihak UPTD melakukan upaya komunikasi dengan pedagang sehingga tujuan pendataan itu bisa dimengerti.
Soal rencana pembangunan pasar, dewan masih belum bersikap. Pasalnya, karena hingga saat ini belum ada sosialisasi dari pihak investor PT Panglima Capital Itqoni ( PCI) kepada anggota dewan. Sosialisasi itu menjadi kewajiban investor, setelah eksekutif menunjuknya sebagai calon pemenang tender.
“ Kami (dewan) ini apa kata pedagang. Kalau pedagang setuju pembangunan pasar, kami akan mengamini dan begitu juga sebaliknya. Tapi mengapa sampai saat ini belum juga ada sosialisasi kepada kami. Kalau ada sosialisasi, minimal akan diketahui permasalahan yang dapat timbul dari rencana pembangunan itu,” ujar Ketua FPAN DPRD Kota Batu, Sugeng Minto Basuki.
Sedangkan Supriyanto menyebut, ketidaksepahaman pedagang jika pasar dibangun adalah masalah regulasi pra pembangunan dan pasca pembangunan, yang belum menemukan titik temu ketika dilakukan dialog antara pengelolah pasar dengan pedagang.
“ Kami selaku pengelolah pasar ini, menginginkan yang terbaik bagi masyarakat khususnya para pedagang. Rencana pembangunan itu, telah berkali kali kami sosialisaikan kepada paguyuban dan Himpunan Pedagang Pasar (HPP) untuk memperoleh kesepakatan bersama,” jelas Supriyanto kepada Malang Post. (aim/mg-2/lyo)

Kamis, 24 Februari 2011

Minimarket Ancam Pasar Tradisional

Liputan6.com, Jakarta: Minimarket yang makin menjamur di Jakarta mengancam warung-warung dan pedagang di pasar tradisional. Lihat saja di Pasar Johar Baru, Jakarta Pusat, yang terbilang baru dan jauh dari kesan kumuh. Tapi, pedagang di pasar ini mengeluh dagangan mereka tak laris karena kalah bersaing dengan minimarket yang mengelilingi pasar tersebut.

Promosi harga murah, ruangan yang berpendingin, dan jaraknya yang dekat dengan pasar tradisional, membuat minimarket laris manis. Di Pasar Johar Baru, minimarket terdekat hanya 30 meter jauhnya. Jika tak dikendalikan, pengelola pasar khawatir minimarket yang terlalu dekat akan mematikan pedagang pasar tradisional.

Jika banyak pasar yang tutup karena kehilangan pembeli, minimarket sebaliknya. Dari 2006 sampai 2010, jumlah minimarket di lima wilayah DKI Jakarta bertambah lebih dari 50 persen atau lebih dari 500 gerai tiap tahunnya. Ironisnya, sebagian besar minimarket itu melanggar izin dan jarak.(ADO)

Rabu, 23 Februari 2011

Wah, 661 Minimarket Terancam Ditutup

KOMPAS.com — Sebanyak 661 minimarket di Ibu Kota terancam ditutup. Sebab, ratusan gerai minimarket itu beroperasi setelah dikeluarkannya Instruksi Gubernur (Ingub) DKI Jakarta No 115 Tahun 2006 tentang Penundaan Perizinan Minimarket di wilayah DKI.

Artinya, izin operasional, undang-undang gangguan, surat izin usaha perdagangan (SIUP), dan surat keterangan domisili sebagai syarat kelengkapan berdirinya minimarket itu kemungkinan besar ilegal.

Data dari Biro Perekonomian DKI, jumlah minimarket seperti Indomaret, Alfamart, Circle K, dan Stratmart di lima wilayah kota DKI sebelum terbitnya Ingub No 115 Tahun 2006 mencapai 525 gerai minimarket. Rinciannya, 70 gerai di Jakarta Pusat, 124 gerai di Jakarta Barat, 114 gerai di Jakarta Timur, 126 gerai di Jakarta Selatan, dan 91 gerai di Jakarta Utara.

Seiring perjalanan waktu, jumlah itu semakin menjamur setelah terbitnya Ingub No 115 Tahun 2006. Ya, bagaimana tidak, sejak 13 November 2006 hingga 30 Maret 2009, jumlah minimarket di Jakarta bertambah menjadi 1.115 gerai atau terjadi penambahan sebanyak 590 gerai dan atau naik sebesar 52,9 persen. Rinciannya, di Jakarta Pusat bertambah sebanyak 151 gerai, Jakarta Barat bertambah 273 gerai, Jakarta Timur bertambah 228 gerai, Jakarta Selatan bertambah 287 gerai, dan Jakarta Utara bertambah 176 gerai.

Jumlah itu kembali bertambah di tahun 2010. Berdasarkan hasil monitoring tahun lalu jumlah minimarket mencapai 1.186 gerai. Rinciannya, Jakarta Pusat bertambah sebanyak 158 gerai, Jakarta Barat bertambah 311 gerai, Jakarta Timur bertambah 259 gerai, Jakarta Selatan bertambah 287 gerai, dan Jakarta Utara bertambah 178 gerai.

"Total minimarket yang beroperasi setelah dikeluarkannya Ingub mencapai 661 gerai. Untuk itu, Pemprov DKI akan melakukan penyelidikan terhadap 661 gerai ini dan mendata kembali jumlah minimarket karena ada kemungkinan bertambah lagi dari data per Juli 2010,” ujar Hasan Basri Saleh, Asisten Perekonomian dan Administrasi Provinsi DKI di Balai Kota, Selasa (22/2/2011).

Untuk menyelesaikan masalah itu, diungkapkan Hasan, pihaknya telah mengeluarkan surat edaran gubernur kepada para wali kota dengan beberapa instruksi, di antaranya para wali kota dan jajarannya harus konsisten melaksanakan butir-butir Ingub No 115 Tahun 2006 dan Ingub No 62 Tahun 2010 tentang Penataan Usaha Minimarket di DKI.

Para wali kota, dikatakan Hasan, juga diminta segera menginventarisasi minimarket di wilayahnya masing-masing yang tidak sesuai dengan peruntukannya selama 14-28 Februari. Kemudian, mengelompokkan hasil pendataan menjadi empat kelompok, yaitu persyaratan atau perizinan lengkap, persyaratan atau perizinan tidak lengkap, tidak memenuhi persyaratan atau tidak memiliki perizinan sama sekali, serta persyaratan atau perizinan ada namun tidak tercatat atau tidak diterbitkan oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD).

"Kami akan selidiki permasalahannya di mana. Justru, inventarisasi ini untuk mengetahui indikasi seperti apa yang terjadi. Makanya, kami akan teliti berdasarkan izin operasionalnya, undang-undang gangguan, dan surat keterangan domisilinya,” paparnya.

Sebab, rekomendasi operasional minimarket dikeluarkan oleh para wali kota. Sedangkan izin undang-undang gangguan dikeluarkan Kepala Satpol PP DKI. SIUP dikeluarkan Kepala Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah dan Perdagangan (KUMKMP) DKI dan Kepala Suku Dinas KUMKMP, serta surat keterangan domisili dikeluarkan para camat dan lurah.

Inventarisasi ini, dikatakan Hasan, tidak untuk menyudutkan pengusaha minimarket, tapi untuk mengetahui apakah ada kesalahan aparat Pemprov DKI atau tidak.

"Kami tidak menyalahkan pengusaha minimarket. Tapi kami juga ingin mendapatkan kepastian dalam permasalahan ini. Kalau ada pejabat yang melanggar, kami sudah mempunyai aturan untuk dikenakan sanksi kepada pejabat tersebut,” katanya.

Agar permasalahan ini tidak terulang kembali di kemudian hari, saat ini Perda No 2 Tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta pun tengah dalam tahap revisi. Diprediksi, sekitar Juli atau September 2011, perda itu akan dibahas Badan Legislasi Daerah DPRD DKI. Adapun poin yang direvisi antara lain, jarak berdirinya minimarket dengan pasar tradisional dan maksimum daya dukung yang diperbolehkan.

Sementara itu Kepala Biro Perekonomian, Ratna Ningsih, mengatakan, saat ini pihaknya memang tengah memadupadankan data minimarket dari seluruh wilayah di Ibu Kota. Ia pun mempertanyakan mengapa setelah Ingub itu diterbitkan masih ada minimarket yang beroperasi.

"Kami akan lihat perizinannya di beberapa unit dan pihak berwenang yang mengeluarkan izin tersbut akan diselidiki,” katanya.

Selasa, 22 Februari 2011

City amends bylaw to save traditional markets

Responding to the controversy over minimarkets in the city operating without licenses, the city administration is expected to amend a 2002 bylaw on markets.

Jakarta Regional Secretary Fadjar Panjaitan said one of the provisions in the draft amendment would keep minimarkets and convenience stores further away from traditional markets.

Fadjar said that all municipalities are currently collecting data on minimarkets in the city operating without the appropriate licenses. The survey is scheduled to be concluded on Feb. 27.

“Data from the initiative would then be submitted to Governor Fauzi Bowo,” he said.

Fadjar said that minimarkets and convenience stores operating without licences could be closed according to bylaw No. 2/2002 on markets.

The city could involve the Indonesian Business Supervisory Commission (KPPU) in the process, he added.

The 2002 bylaw stipulates the maximum size for a minimarket is 4,000 square meters. Minimarkets sized between 100 and 200 square meters should be at least 500 meters away from any traditional market. Minimarkets would only be allowed to open for business from between 9 a.m. and 10 p.m.

Minimarkets sized over 200 square meters need to secure permits from their respective municipality offices, whereas stores up to 2,000 square meters would need a permit from a deputy governor. Stores larger than 2,000 square meters would need a permit from a governor.

Among documents needed for opening a minimarket are letters from local sub-district and district heads and permits from the Public Order Office, Cooperatives and Small and Medium Enterprises Trade Office and the City Building Supervision Agency.

The chairman of the non-government organization Jakarta Residents Forum (Fakta) Azas Tigor Nainggolan said that his organization found indications that some minimarkets in the city had forged licenses for operation.

“The city administration has stopped issuing licenses for minimarkets through a gubernatorial instruction in 2006,” Azas said.

He suspected that the document could only be obtained from corrupt practices.

“Many minimarkets are now operating with forged licenses. This is possible because of corruption, where people could ‘buy’ licenses from city officials,” he said.

Azas said that his organization is currently providing advice for residents of Karet Belakang in South Jakarta and Palmeriam in East Jakarta who are seeking to close down two minimarkets they believe are operating illegally.

He recommended the city administration set up a task force under the regional secretary to monitor minimarket business in the city.

The taskforce would be able to issue recommendations on which minimarkets should be allowed to operate.

Most of the minimarkets in the capital are run by two retail giants, Indomaret and Alfamart.

The two companies apply a franchise system that allows their company to expand through licenses to individuals.

The policy has led to the mushrooming of minimarkets that are now on almost every corner in the city because of the ease with which a franchisee could set up shop

Senin, 21 Februari 2011

Perda Perpasaran Swasta Akan Direvisi

JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan merevisi Perda No 2 Tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta. Hal itu untuk menanggapi kekhawatiran para pedagang pasar tradisional sehubungan dengan membanjirnya pasar modern seperti minimarket.

"Revisi itu pun sudah masuk ke Badan Legislatif Daerah DPRD DKI untuk segera dibahas bersama anggota dewan," kata Sekretaris Daerah DKI Fadjar Panjaitan, Senin (21/2/2011), di Balai Kota DKI.

Dikatakan Fadjar, pihaknya akan melakukan revisi pada perda itu. Kemungkinan revisinya termasuk penyempurnaan jarak minimarket. Di perda itu disebutkan, mini swalayan maksimal memiliki luas 4.000 meter persegi. Usaha perpasaran swasta yang luas lantainya 100-200 meter persegi harus berjarak 0,5 km dari pasar lingkungan dan terletak di sisi jalan lingkungan/kolektor/arteri.

Selain itu, waktu penyelenggaraan usaha perpasaran swasta di mulai pukul 09.00 hingga pukul 22.00. Perda tersebut juga mengatur soal jarak dan pihak yang memiliki kewenangan memberikan izin untuk minimarket.

"Jika minimarket memiliki luas sampai 200 meter, perizinannya akan dikeluarkan oleh wali kota yang bersangkutan. Jika luasnya mencapai 2.000 meter, perizinannya berada di tangan wakil gubernur," ujarnya.

Sementara jika luasnya lebih dari 2.000 meter, maka perizinannya oleh gubernur. Saat ini, sekda telah memerintahkan Asisten Perekonomian dan Administrasi DKI, Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Perdagangan (KUMKP) DKI, serta pengelola PD Pasar Jaya, untuk melakukan proses inventarisasi minimarket ilegal. Hasilnya akan disampaikan kepada Gubernur pada tanggal 27 Februari.

Pendataan akan mencakup jumlah serta kelengkapan dan kevalidan dokumen perizinan yang dimiliki seperti keterangan domisili yang dikeluarkan camat dan lurah, Undang-Undang Gangguan (UUG) oleh Satpol PP, Tanda Daftar Perusahaan (TDP) dan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dikeluarkan Sudin KUMKM dan Perdagangan, IMB dari Sudin Penataan dan Pengawasan Bangunan (P2B) hingga izin Prinsip yang dikeluarkan wali kota.

Usai dilakukan inventarisasi, pemerintah kota akan segera melakukan penertiban seperti pembongkaran, penutupan, atau justru pemberian izin sesuai dengan ketentuan Perda No 2/2002 tentang Perpasaran Swasta

Senin, 07 Februari 2011

Remajakan Pasar Tradisional

Jakarta, Kompas - Perusahaan Daerah Pasar Jaya mempercepat proses peremajaan pasar-pasar tradisional guna mengubah citra buruk tentang pasar yang becek dan kumuh. Periode 2009-2010, 12 pasar selesai diremajakan. Tahun 2011-2012 ada 39 pasar tradisional yang akan diremajakan.

”Pasar tradisional tidak boleh mati dan ditinggal pembelinya karena kalah bersaing dengan pasar modern. Oleh karena itu, kami memulai langkah awal dengan memperbaiki kualitas bangunan pasar tradisional agar nyaman dikunjungi,” kata Direktur Utama PD Pasar Jaya Djangga Lubis, saat peresmian Pasar Klender SS dan Pasar Duren Sawit, Kamis (27/1).

Percepatan peremajaan bangunan pasar tradisional perlu dilakukan karena kondisi sebagian besar pasar rusak sedang sampai berat. Sirkulasi udara pengap, lantai becek dan licin, atap bocor, dan temboknya retak. Sebagian besar pasar dibangun tahun 1970-an dan 1980-an melalui instruksi presiden atau pasar inpres.

Kondisi buruk inilah yang membuat sebagian besar masyarakat enggan berkunjung ke pasar tradisional dan beralih ke pasar modern yang nyaman. Berkurangnya jumlah pembeli tentu berdampak langsung pada penurunan jumlah pedagang. Jika kondisi ini dibiarkan, semua pasar tradisional akan mati.

Periode 2009-2010, 12 pasar yang sudah selesai dikerjakan adalah Pasar Rawabening, Klender SS, Duren Sawit, Johar Baru, Pal Meriam, Ciracas, Jambul, Cipinang Muara, Cipulir, Blok M Square, Bojong Indah, dan Tomang Barat. Tiga pasar yang disebut pertama sudah diresmikan gubernur, sementara sembilan pasar lainnya belum diresmikan.

Tahun ini akan dikerjakan peremajaan 13 pasar. Tahun 2012 akan menyusul 26 pasar lainnya untuk diremajakan. Sebanyak 26 pasar yang akan diremajakan tahun 2012 adalah Pasar Ujung Menteng, Enjo, Gembrong, Ciplak, Cijantung, Cikini Ampiun, Kelapa Gading, Karet Belakang, Pondok Indah, Jembatan Besi, Blok A, Bidadari, Petojo Enclek, Gondangdia, Ikan Luar Batang, Gandaria, Cideng Thomas, Tanah Abang Blok F, Pasar Baru, HWI Lindetives, Pulogadung, Kramat Jati, Tebet Barat, Asem Reges, Cengkareng, dan Slipi.

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo meminta PD Pasar Jaya tidak hanya cepat dalam meremajakan pasar, tetapi juga memelihara pasar dengan baik. Bangunan pasar yang selesai diremajakan harus dijaga kebersihan dan ketertibannya agar tak kembali kumuh dan ditinggalkan pembeli.

Fauzi Bowo juga meminta semua kepala daerah, mulai wali kota sampai lurah, menertibkan pedagang kaki lima di sekitar pasar. Selain menciptakan kemacetan dan kesemrawutan, pedagang kaki lima juga menghalangi pembeli yang akan masuk ke dalam pasar.

Dampaknya, pedagang pasar akan ikut-ikutan keluar pasar untuk menjemput pembeli sehingga kondisi makin semrawut dan pasar justru menjadi sepi.

Pasar Klender SS

Pasar Klender SS yang diresmikan kemarin dibangun dengan dana Rp 46,6 miliar dan luas area 10.688 meter persegi.

Pasar Klender SS memiliki 1.336 tempat usaha terdiri dari 749 kios dan 587 los. Berbagai kebutuhan rumah tangga, seperti sayur, buah, daging, ikan, peralatan dapur, sampai kosmetik dijual di pasar ini.

Sebagai bangunan modern, Pasar Klender SS juga dilengkapi dengan alat pemadam api ringan dan alarm kebakaran. Tempat parkirnya dapat menampung 90 mobil dan 150 sepeda motor.

Sementara itu, Pasar Duren Sawit diremajakan dengan dana Rp 11,5 miliar. Pasar Duren Sawit merupakan pasar tematik yang menjual berbagai suku cadang dan aksesori mobil.

Pasar dengan luas area 2.990 meter persegi ini hanya memiliki satu lantai dan satu semibasement. Pasar Duren Sawit merupakan pasar tematik suku cadang mobil ketiga, setelah Pasar Asem Reges, Jakarta Barat dan Pasar Cipete, Jakarta Selatan.

Djangga Lubis mengatakan, untuk meremajakan pasar, pihaknya menggandeng pedagang pasar, koperasi pedagang, dan asosiasi pedagang pasar untuk berpartisipasi. (ECA)

Omzet Pasar Tradisional Rp 7,9 Miliar

JAKARTA, KOMPAS.com — Pedagang kaki lima (PKL) yang berada di dalam pasar tradisional mendatangkan keuntungan tersendiri bagi PD Pasar Jaya. Dalam setahun, para PKL ini meraih omzet miliaran rupiah.

Potensi yang begitu besar itulah yang membuat PD Pasar Jaya kemudian memutuskan untuk membina para PKL dan memasukkannya ke dalam gedung pasar. "Memang kami atur, misalnya di Pasar Kramat Jati ada kaki lima binaan, juga di Pasar Obat Pramuka," ujar Direktur Utama PD Pasar Jaya Djangga Lubis, Senin (7/2/2011) di Jakarta.

PKL binaan ini berbeda dengan PKL yang berada di luar gedung pasar tradisional milik PD Pasar Jaya. PKL binaan berada di pelataran gedung dan nantinya akan diberi lahan khusus pada revitalisasi pasar tradisional yang dilakukan pada tahun 2011.Hal ini dilakukan melihat potensi yang begitu besar dari PKL binaan tersebut.

Djangga menyebuatkan, nilai omzet yang didapat dari PKL tersebut mencapai Rp 7,9 miliar untuk 153 pasar tradisional di Jakarta. "Nantinya, di dalam (pasar) kami atur tempatnya sehingga PKL tidak saling bersaing dan tidak menghambat akses masuk," katanya

Pasar Tradisional Diserang (By Saifur Rohman)

Sebuah bank besar nasional tahun ini membidik pasar tradisional melalui pendirian 50 gerai di kompleks pasar tradisional Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Gerai itu akan memberikan kredit Rp 2 juta hingga Rp 100 juta untuk pedagang. Pada saat yang bersamaan, Forum Masyarakat Pedagang Semarang mendeklarasikan gerakan peduli pasar tradisional. Tuntutan mereka agar pasar tradisional yang terdesak pasar modern itu dilindungi. (Kompas, 24/2)

Dua peristiwa itu tampaknya berkesinambungan. Di permukaan, tuntutan perlindungan dari Forum Masyarakat Pedagang Semarang itu didukung kebijakan lembaga keuangan penyaluran modal dengan bunga ringan. Di balik itu muncul pertanyaan: apakah kebijakan itu benar-benar untuk perlindungan terhadap eksistensi pedagang dan pasar tradisional? Apa yang sesungguhnya terjadi pada pasar tradisional dan apa yang dibutuhkan?

Jawaban dari perspektif antropologi, konsep pemberdayaan pasar tradisional selama ini hanya membandingkan dengan serbuan pasar modern, tetapi tidak pernah diselami lebih dalam teknik-teknik bertahan para pedagang. Dalam penelitian partisipatif ilmu sosial terungkap, selama ini, pasar tradisional hidup dan bertahan dengan sistem yang sangat berbeda dengan pasar modern. Karena itu, tulisan ini akan membuktikan, sumber daya lokal dalam pasar tradisional bisa dimanfaatkan sebagai daya saing untuk menunjukkan karakter perekonomian kita yang kuat.

Dua sistem

Asumsi umum, secara etimologis, pasar dikatakan tradisional karena pengelolaan dan pemasarannya menggunakan prinsip-prinsip lama. Mereka memasarkan produk berdasarkan ingatan kolektif. Sistem transaksi mengandalkan kemampuan pribadi. Teknik pengelolaannya memanfaatkan pengetahuan intuitif seorang pedagang sehingga tata kelola keuangan didasarkan apa yang ada pada hari itu. Sebaliknya, dikatakan modern karena pengelolaannya dan pemasarannya menggunakan sentuhan teknologi. Mereka memasarkan dengan media massa, dikelola dengan teknologi informasi, dan dilestarikan dengan sistem penghitungan ilmu pengetahuan positif. Pasar modern menghilangkan sisi manusiawi dalam berdagang. Komunikasi diminimalkan. Sistem interaksi interpersonal direduksi menjadi bentuk pembuatan harga mati pada produk. Semangatnya pragmatis, impersonal, dan berorientasi pada nominal material.

Perbandingan pertumbuhan pasar modern dengan pasar tradisional memang kontras. Hal itu menunjukkan jiwa masyarakat yang berubah. Berdasarkan data statistik Jawa Tengah dalam Angka 2009, jumlah pasar tradisional di Jateng pada 2004 adalah 1.496, sedangkan pasar modern 232. Bila dibandingkan dengan data pada 2008, jumlah pasar tradisional 1.443 dan pasar modern 399. Data tersebut menunjukkan, pasar tradisional mengalami penyusutan sementara pasar modern berlipat perkembangannya. Pada 2004, komposisinya 86,5 persen pasar tradisional, sedangkan 13,5 persen pasar modern. Pada 2008, sebesar 78,3 persen pasar tradisional dan 21,7 pasar modern. Jadi, penyusutan pasar tradisional sebesar 8,2 persen.

Angka itu merupakan penghitungan di atas kertas yang mengakses pasar-pasar besar dan terdaftar. Sementara itu, pasar swalayan kecil yang merambah pinggiran kota dan perkampungan belum dihitung. Contohnya adalah sistem pengelolaan franchise (waralaba) yang sangat ekspansif dan cepat. Waralaba ritel itu ditopang sistem jaringan yang lebih besar ketimbang jangkauan tiap unit itu sendiri.

Sudah diketahui umum, untuk menjalankan waralaba, dibutuhkan dana Rp 300 juta-Rp 400 juta dan dalam dua tahun akan balik modal. Para pemilik modal ini tentulah tidak membutuhkan kucuran dana dari bank-bank yang bergerak di pasar tradisional. Mereka bergerak dalam area tak terbatas dan siap membunuh para pedagang tradisional bermodal lemah.

Pola bertahan

Pada saat yang bersamaan, kehadiran perbankan modern dalam jaringan pasar tradisional juga akan mengubah pola-pola bertahan yang selama ini sudah terbangun. Penelitian terhadap usaha kecil memperlihatkan, kehidupan di tengah-tengah pasar tradisional sangat berbeda. Di samping memanfaatkan bahasa, gestur, serta nilai-nilai lokal, para pelaku disangga sebentuk organisasi keuangan yang beroperasi secara nonformal.

Ada istilah "bank titil" karena mereka "nitili" (Jawa: memakan sedikit demi sedikit) uang para pedagang tradisional. Mereka mengambil angsuran tiap hari dengan jumlah uang dari Rp 1.000 hingga Rp 10.000. Bank plecit adalah bank yang mengambil keuntungan lebih dulu sebelum debitur menerima uang (Slamet Mulyono, 2008: 375). Ada juga mendring, sistem kredit barang dengan angsuran harian atau mingguan. Ada pula rentenir; perorangan penyalur modal besar dengan bunga tinggi.

Semua itu bukanlah lembaga keuangan resmi yang terdaftar di departemen perdagangan pemerintah, tetapi eksistensi mereka sangat nyata dalam kehidupan sehari-hari. Mereka membentuk jaringan saling ketergantungan sehingga masing-masing bisa bertahan hingga kini. Karena itu, tidak selamanya pasar tradisional bisa dikalahkan pasar modern. Contohnya, Pasar Johar Semarang yang tidak dapat dikalahkan oleh sebuah pasar swalayan terkenal. Pada 1990-an dipercayai bahwa pasar modern yang berdiri persis di seberang Pasar Johar itu akan mematikan pedagang-pedagang tradisional. Sebaliknya yang terjadi, pada 2000-an, pasar modern itu tutup karena hanya dijadikan tempat "mendinginkan" badan setelah pengunjung berpanas-panas di pasar.

Belajar dari situ, jaringan yang menopang sistem perekonomian pasar tradisional itu hendak diambil alih oleh lembaga keuangan formal. Pengambilalihan itu akan meliputi mekanisme ketergantungan kreditur-debitur, pola-pola pemerasan, serta bentuk penekanan lain yang berciri impersonal. Bila ekspansi lembaga keuangan formal itu terlaksana, tekanan terhadap pasar tradisional tidak saja oleh pasar modern, tetapi juga lembaga keuangan modern. Di sisi yang lain, ketika pelaku pasar tradisional kian terjepit dari segala sisi, pemerintah yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan usaha rakyatnya terkesan hanya berpangku tangan. SAIFUR ROHMAN Doktor Ilmu Filsafat, Mengajar di Universitas Semaran